Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa lagi-lagi kebijaksanaan Allah tampak dalam tidak adanya kewajiban qadha shalat dan adanya kewajiban qadha puasa bagi perempuan yang sedang haid dan nifas.
Haid dan nifas, menurut Nyai Badriyah, bukan keadaan yang patut mendapatkan sanksi, karena haid dan nifas adalah anugerah dan kodrat Allah kepada perempuan.
Secara praktis pun, andai meninggalkan shalat saat haid dan nifas wajib di qadha, sungguh repot perempuan. Baru selesai mengqadha shalat saat haid yang lalu, sudah datang siklus haid berikutnya.
Tanpa qadha shalat, Nyai Badriyah mengungkapkan, perempuan selalu menjalani shalat saat ia tidak sedang haid atau nifas
Berbeda dengan qadha shalat, qadha puasa kata Nyai Badriyah, lebih bermakna netral, yakni sebagai pengganti puasa yang tidak dilakukan karena memang diperbolehkan.
Para ulama sepakat sanksi bagi yang tidak puasa karena sengaja melanggar atau perbuatan dosa adalah kaffarat.
Haid dan nifas mewajibkan perempuan untuk tidak puasa. Hamil dan menyusui memberi pilihan kepada perempuan untuk berpuasa atau tidak.
Semua siklus reproduksi ini, kata Nyai Badriyah, menempatkan perempuan dalam posisi baik dan benar.
Maka, perempuan pun wajib mengqadha puasanya agar bisa meraih kesempurnaan puasa yang hanya sebulan dalam setahun.
Sebaliknya jika tidak ada qadha puasa, perempuan berpotensi tidak bisa merasakan nikmatnya ibadah shaum yang hanya untuk Allah itu. Tahun ini hamil, dua tahun ke depan menyusui, tahun depannya hamil lagi, dan seterusnya.
Oleh sebab itu, Bu Nyai Badriyah mengingatkan, harus adanya kewajiban qadha puasa dengan waktu yang menyerahkannya kepada perempuan dalam rentang satu tahun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa di tengah fleksibilitas waktu puasa, perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengasah spiritualitas dan solidaritas yang hanya bisa orang puasa rasakan. Subhanallah! (Rul)