Mubadalah.id – Menempatkan pengalaman perempuan sebagai subjek dalam poligami adalah penting, untuk memenuhi tuntutan prinsip keadilan yang diamanatkan al-Qur’an. Karena yang menerima akibat langsung dari poligami adalah perempuan.
Sehingga, pilihan monogami atau poligami dalam memaknai anjuran ayat 3 dari sura an-Nisa harus dengan menempatkan perempuan sebagai subjek.
Atau tepatnya, pengalaman dan pertimbangan para perempuan adalah subjek utama dalam penentuan keputusan pilihan poligami.
Ini adalah salah satu bentuk pemaknaan ayat al-Qur’an dengan berbasis pada pengalaman perempuan, atau tepatnya tuntutan perempuan sebagai subjek dalam hal poligami.
Menempatkan pengalaman perempuan sebagai basis pemaknaan ayat al-Qur’an pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw. Pada ayat 34 dari surat an-Nisa, disebutkan bahwa suami dianjurkan memukul istri yang tidak taat, ketika sudah tidak bisa lagi dengan cara nasihat, maupun dengan cara pisah ranjang.
Nabi pun memperkenankan pemukulan ini. Tetapi kemudian beberapa perempuan bertandang ke Nabi dan mengadukan perilaku pemukulan para suami mereka.
Anehnya, kemudian para suami juga menahan Nabi untuk tidak mencabut izin pemukulan istri tersebut. Tetapi Nabi pada akhirnya bersikeras untuk memihak kepada para perempuan dan mencap para laki-laki yang memukul perempuan, sebagai lak-laki yang tidak baik.
Lengkapnya, seperti dalam riwayat Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab ra berkata:
“Bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian memukul para perempuan!” Lalu datang Umar Ra kepada Rasulullah Saw dan berkata:
“Para istri itu nanti berani (melawan) suami mereka, berikan kami izin untuk tetap memukul mereka”.
Tetapi kemudian banyak sekali perempuan yang mendatangi keluarga Rasulullah Saw, mengadukan perilaku suami mereka. Maka Rasulullah Saw pun bersabda:
“Sesungguhnya banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad sambil mengadukan perilaku suami mereka. Mereka (para suami yang memukul istri) itu bukanlah orang-orang yang baik”. (Riwayat Abu Dawud). []