Mubadalah.id – Setiap tahun, Iduladha hadir sebagai momentum sakral dalam kalender umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada hari itu, jutaan umat Muslim mengenang kembali kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail.
Dia rela menyerahkan apa yang paling berharga demi menjalankan perintah Tuhan. Kisah yang sudah melekat dalam benak umat Islam ini menjadi dasar dari ritual penyembelihan hewan kurban, yang sarat makna keikhlasan dan ketundukan kepada Sang Pencipta.
Namun, di balik kisah itu, ada satu tokoh perempuan yang perannya seringkali terlupakan, atau paling tidak kurang mendapatkan sorotan yang layak: Hajar, istri Ibrahim dan ibu dari Ismail. Dalam narasi Iduladha yang dominan, Hajar tampak seperti figuran, padahal ia adalah figur yang sangat penting, tokoh yang kerap kali menjadi sumber inspirasi spiritual yang sangat relevan untuk kita di masa kini.
Hajar adalah perempuan yang Ibrahim tinggalkan di padang pasir yang tandus, di sebuah lembah terpencil tanpa air dan tempat berlindung. Dalam situasi yang sangat genting dan berbahaya itu, ia tidak menyerah.
Demi menyelamatkan anaknya yang kehausan, Hajar berlari bolak-balik antara dua bukit, Shafa dan Marwah, sebanyak tujuh kali, mencari sumber air. Dari perjuangan itulah, mata air Zamzam muncul secara ajaib, memberi kehidupan di tengah kekeringan.
Namun, kisah Hajar bukan sekadar cerita sejarah atau dongeng religius. Ia menyimpan pesan besar tentang keteguhan, keberanian, dan keimanan yang nyata. Di mana sangat diperlukan untuk memahami Iduladha lebih utuh, terutama dalam konteks perempuan.
Simbol Perjuangan Seorang Ibu
Kita sering memahami Iduladha dari sudut pandang Ibrahim dan Ismail, figur laki-laki yang teruji keimanannya dengan ujian pengorbanan terbesar. Tapi, tanpa Hajar, ujian itu tidak akan pernah bisa terwujud. Hajar adalah simbol perjuangan seorang ibu, yang dengan segala keterbatasan dan ketidakpastian, tetap berjuang penuh harap demi masa depan anaknya.
Ketika kita memaknai Iduladha, tidak cukup hanya mengenang pengorbanan Ibrahim dan Ismail saja. Narasi Hajar harus kita angkat sebagai bagian penting dari spiritualitas kurban. Ia mengingatkan kita bahwa pengorbanan sejati tidak melulu soal kesiapan mental menghadapi perintah Tuhan, tetapi juga tentang keuletan dan keberanian menghadapi ketidakpastian hidup.
Lebih jauh, kisah Hajar memberikan penegasan bahwa peran perempuan dalam sejarah dan spiritualitas Islam sangat krusial. Perempuan bukan hanya pendamping pasif, tetapi juga penggerak aktif dalam perjalanan iman.
Dalam tradisi Islam, ibadah Sa’i yang merefleksikan lari bolak-balik Hajar antara Shafa dan Marwah justru menjadi bagian penting dari ritual haji dan umrah. Artinya, setiap Muslim ketika menjalankan ibadah tersebut sebenarnya sedang meneladani keteguhan Hajar, bukan hanya Ibrahim.
Mengingat pentingnya narasi Hajar, relevansi kisah ini dengan realitas perempuan di Indonesia hari ini pun tak bisa terabaikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia masih relatif rendah, hanya sekitar 54,42%, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 83,22%.
Selain itu, menurut Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada tahun 2023 tercatat lebih dari 457.000 kasus, menandakan bahwa masih banyak tantangan berat yang dihadapi perempuan.
Narasi Hajar
Dalam konteks ini, Hajar menjadi cermin. Ia adalah gambaran perempuan yang harus berjuang sendiri, dalam situasi yang penuh ketidakpastian dan keterbatasan, tanpa banyak dukungan. Perempuan pekerja, ibu rumah tangga yang juga kepala keluarga, bahkan para penyintas kekerasan yang memilih bangkit dan bertahan, mereka adalah “Hajar-Hajar” masa kini yang berjuang tanpa henti demi masa depan lebih baik.
Sayangnya, dalam banyak kebiasaan dan ceramah Iduladha, narasi perempuan seringkali masih tertinggal. Cerita dan peran perempuan terposisikan di pinggir panggung, bahkan seringkali terlupakan. Ini juga mencerminkan bagaimana dalam praktik sosial dan budaya, perempuan kerap kita pandang sebagai pelengkap atau pendukung, bukan pelaku utama perubahan.
Padahal, jika kita mengkaji kembali narasi besar Iduladha secara holistik, akan terlihat bahwa perempuan seperti Hajar tidak sekadar pelengkap. Melainkan bagian sentral yang harus mendapatkan pengakuan yang sama pentingnya dengan Ibrahim dan Ismail. Dengan mengangkat kisah Hajar, kita menegaskan bahwa perjuangan dan pengorbanan perempuan adalah bagian dari spiritualitas Islam yang seutuhnya.
Pengarusutamaan kisah Hajar dalam pendidikan agama dan dakwah juga sangat penting. Saat ini, materi pembelajaran agama di sekolah dan pesantren kerap berfokus pada figur laki-laki. Narasi Hajar yang penuh kekuatan dan inspirasi sering kali tidak terekam secara optimal dalam kurikulum dan ceramah keagamaan.
Padahal, memperkenalkan kisah Hajar kepada generasi muda dapat membangun kesadaran gender yang lebih baik dan menanamkan nilai-nilai ketangguhan, keberanian, dan keimanan yang kuat, tidak hanya pada laki-laki tapi juga perempuan. Ini juga bisa menjadi cara memperkuat nilai-nilai kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat yang plural dan demokratis.
Momentum Keadilan Gender
Iduladha, dengan semangat kurbannya, seharusnya menjadi momentum untuk menyatukan spiritualitas dengan keadilan sosial, termasuk keadilan gender. Menghidupkan kembali narasi Hajar dalam konteks ini adalah langkah penting agar kita tidak hanya merayakan ritual tanpa makna sosial dan kemanusiaan yang mendalam.
Sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia dan berperan besar dalam keluarga dan masyarakat, pengakuan narasi Hajar bisa membuka ruang bagi dialog yang lebih luas tentang peran perempuan dalam keagamaan dan publik.
Momentum Iduladha bukan hanya soal berapa banyak hewan yang disembelih, atau siapa yang paling taat menjalankan ritual. Lebih dari itu, ini soal bagaimana kita memaknai pengorbanan, keteguhan hati, dan pengabdian pada nilai-nilai kemanusiaan.
Narasi Hajar memberikan warna baru dalam memaknai Iduladha, bahwa pengorbanan perempuan, ketabahan dalam menghadapi kesulitan, dan keberanian untuk bertahan dalam ketidakpastian adalah inti dari spiritualitas yang harus kita hargai dan tersebarkan.
Mari kita jadikan Iduladha sebagai momentum tidak hanya untuk merayakan ketaatan Ibrahim dan Ismail, tetapi juga mengakui dan mengapresiasi peran perempuan seperti Hajar. Dengan keberaniannya mengajarkan kita arti sesungguhnya dari pengorbanan dan iman. []