Seminggu yang lalu Zaskia Mecca mengeluhkan metode membangunkan sahur yang dilakukan di masjid dekat rumahnya. Pasalnya tidak hanya terlalu keras suaranya, namun cara yang dilakukan juga jauh dari kesan Islami.
Mubadalah.id – Zaskia Adya Mecca memiliki kekhawatiran bahwa cara tersebut akan mengganggu bayinya serta orang lain yang sedang beristirahat. Saya sepakat dengan empati yang ditunjukkan olehnya. Mereka yang tinggal di sekitar masjid tersebut belum tentu semuanya beragama Islam dan menjalankan ibadah puasa. Bahkan mungkin ada orang-orang yang memiliki masalah kesehatan dan harus beristirahat tanpa gangguan. Akan tetapi, bukannya dimaklumi, unggahan Zaskia malah disertai komentar caci maki.
Saya jadi ingat ujaran dosen saya ketika berkuliah di jurusan Filsafat, Universitas Indonesia. Beliau berkata “konsep toleransi yang benar itu dilakukan oleh pihak mayoritas kepada yang minoritas, bukan sebaliknya”. Sehingga, “contoh pemasangan tirai pada tempat-tempat makan selama bulan puasa adalah tidak tepat” tambahnya. “Untuk apa bertoleransi pada mereka yang puasa di negara yang memang mayoritas orangnya berpuasa?” ujar beliau sembari menutup perkuliahan dengan mengingatkan kembali bahwa kaum minoritas lah yang harus diutamakan dalam konsep toleransi.
Sayangnya, pola pemikiran kritis seperti itu belum mampu dimiliki oleh semua orang. Apalagi kaum yang merasa berkuasa karena menang jumlah dibandingkan kaum lain yang secara tidak sadar mereka tindas setiap harinya. Tinggal di wilayah pecinan, saya adalah bagian dari mayoritas yang dikelilingi oleh minoritas. Masjid terdekat dari rumah saya 20 menit berjalan kaki jaraknya. Dengan jarak tersebut, suara azan tidak akan sampai di telinga saya.
Lalu apakah saya tidak shalat hanya karena tidak mendengar azan? Apakah saya tidak bangun sahur hanya karena tidak dibangunkan oleh koar-koar toa masjid dan remaja sekitar komplek yang belum tentu seindah ayat-ayat al-Quran? Tentu tidak.
Akibat tinggal jauh dari masjid, dari kecil saya sudah hafal jam-jam beribadah lima waktu. Toh, berbeda dengan negara yang memiliki lebih dari dua musim, waktu shalat di Indonesia tidak berbeda jauh setiap harinya dalam setahun. Sangat mudah membiasakan diri mengingat waktu shalat walaupun tidak mendengar azan. Selain itu, pada bulan ramadan, menyalakan alarm cukup efektif untuk membangunkan sahur. Kalau memang niat beribadah kuat, tidak perlu diingatkan dengan toa pasti akan terbangun juga, kok.
Saya sadar benar bahwa ibadah adalah hal yang personal antara Tuhan dan umatnya. Maka, saya tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk melakukan ritual keagamaan yang sudah dilakukan setiap hari. Apalagi dengan peringatan ibadah seperti membangunkan orang sahur yang justru bisa merugikan orang lain.
Jangan-jangan mereka yang tidak paham toleransi harus tinggal bersama kaum minoritas terlebih dahulu agar belajar empati?
Kembali ke perihal penggunaan toa masjid ketika membangunkan sahur, saya yakin mereka yang beribadah puasa tidak harus dibangunkan dengan cara yang berlebihan. Mereka yang balik menyerang justru seharusnya belajar paham bahwa ada orang-orang yang terganggu dengan cara penggunaan toa tersebut. Jika masih berkelit, seharusnya mereka mau mematuhi aturan-aturan yang sudah mengikat cara penggunaan toa masjid secara hukum.
Kementerian Agama Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Binmas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 Tentang Tuntutan Penggunaa Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Pada aturan tersebut, pengeras suara yang ditujukan ke luar masjid adalah panggilan azan yang boleh dimulai dengan lantunan ayat-ayat al-Quran 15 menit sebelumnya.
Selain itu, takbir yang dikumandangkan ketika hari raya juga boleh menggunakan pengeras suara ke luar masjid. Adapun pengumuman dan pengajian, pengeras suara diarahkan ke dalam masjid bukan ke luar.
Kritik penggunaan toa masjid juga sempat dilayangkan oleh mantan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) pada tahun 2015. Setelah menangkap marbot yang hanya tidur selama kaset pengajian disetel lebih dari dua jam sebelum azan subuh, JK mempertanyakan ritual ibadah umat Islam yang ternyata malah menjadi gangguan serta polusi suara bagi umat agama-agama lain.
Apabila berpegang pada aturan yang sudah dikeluarkan Kemenag, mengaji cukup dilakukan selama maksimal 15 menit sebelum azan. Selain itu, seperti yang diprotes oleh JK, apabila yang mengaji hanya kaset, maka tidak ada pahala yang mengalir bagi siapapun. Para pengurus masjid tidak boleh malas dan harus menentukan siapa saja yang bertugas melantunkan ayat-ayat al-Quran sebelum azan.
Lalu bagaimana dengan penggunaan toa masjid untuk membangunkan orang sahur? Berpegangan pada aturan Kemenag, mudah untuk dipahami bahwa pengeras suara harus digunakan sebijak mungkin agar bermanfaat dan tidak mudarat. Ketegasan dari para pengurus masjid dapat menjadi salah satu solusi yang tepat. Agar tidak mengganggu, akses penggunaan toa dapat dibatasi untuk kalangan pengurus masjid saja. Jangan hanya karena bulan ramadan lalu lupa bahwa banyak orang-orang lain yang kepercayaan dan agamanya beragam di sekitar kita.
Selain itu, seperti yang disampaikan Zaskia Mecca ketika akhirnya tabayyun dengan orang yang membangunkan sahur di masjid dekat rumahnya, pada HR Nasai 2170, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Bilal melakukan azan di malam hari, untuk membangunkan orang yang tidur di antara kalian dan orang yang tahajud bisa kembali istirahat.”
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam aturan negara dan agama, ibadah kita telah ditata sedemikian rupa agar tidak merugikan orang lain. Sehingga, dapat dimaklumi apabila ada pihak-pihak yang mengeluh jika terganggu oleh ritual-ritual keagamaan yang harusnya bersifat indah dan personal.
Lantas bagaimana dengan mereka yang bersikeras berteriak lantang dan mengganggu kehidupan bermasyarakatnya sendiri? Dalam pertemuan virtual dengan Magdalene.co, Musdah Mulia sempat berpesan bahwa jika sedang berpuasa, maka bersikaplah biasa-biasa saja. Tidak usah berlebihan apalagi pamer kalau sedang beribadah.
Maka, ingatkanlah saudara-saudara kita untuk beribadah secara sederhana. Adanya azan atau tidak, lantangnya membangunkan orang sahur atau tidak, ibadah yang bersifat personal memang seharusnya tidak tergantung pada faktor eksternal. Kita sendirilah yang harus selalu ingat kewajiban untuk beribadah kepada Tuhan dan selalu mempertahankan damai dalam kemanusiaan. []