“Galau brutal kalau tidak ada kursi roda,” ungkap Stella tentang pentingnya teknologi asistif melalui pesan whatsapp (5/12/25).
Mubadalah.id – Zaman modern menjadi tanda perkembangan teknologi untuk menunjang mobilitas masyarakat, khususnya penyandang disabilitas. Sebelum teknologi pengampu berinovasi, pergerakan difabel terbatas dan sulit.
Munculnya teknologi asitif sangat membantu kegiatan disabilitas. Terlebih lagi jika rancangannya sesuai dengan kebutuhan difabel. Mereka bebas bergerak dan dapat berpartisipasi aktif di tengah-tengah masyarakat.
Teknologi asistif adalah alat atau suatu produk yang dimodifikasi sesuai kebutuhan penyandang disabilitas, diperoleh secara komersial atau siap pakai. Tujuannya untuk menambah, mempertahankan, serta meningkatkan kemampuan fungsional difabel. (Suzanne Robitaille, 2018: 5)
Teknologi Asistif sebagai Alat Kemandirian bukan Hambatan
Stella, disabilitas daksa, selalu memanfaatkan kursi roda untuk rutinitasnya. Dia mendapatkan peralatan penunjang itu dari Gus Dur dan Lembaga Wafcai. Dengan kursi roda adaptif ini, dia bisa bergerak bebas dan pergi kemana saja. Dia juga dapat mengembangkan potensi menulis puisi. Baginya alat bantu mobilitasnya lebih penting dari mantan.
Ketika Sekolah Dasar, Stella tidak menggunakan kursi roda. Selama enam tahun saudaranya selalu menggendong anak kecil yang lucu ini ke sekolah. Dia hanya duduk saja selama di kelas. Tidak berani ke toilet karena sungkan meminta bantuan teman sekelasnya, sehingga selalu menahan buang air sampai pulang sekolah.
Sekarang ini dia ingin mendapat kursi roda elektrik namun biayanya sangat mahal. Padahal semakin canggih kursi roda semakin memudahkan mobilisasinya. Harapannya alat bantu disabilitas harganya terjangkau. Pemerintah juga tidak memangkas anggaran disabilitas supaya mendapat alat bantu sesuai kebutuhan para difabel.
Di cerita lain, seorang siswa Tuli dari Kediri. Maira namanya. Sejak lahir telinganya sudah tidak berfungsi. Percakapan sehari-hari menggunakan bahasa isyarat. Bahasa itu merupakan komunikasi alami (bahasa ibu) disabilitas rungu.
Maira memakai Alat Bantu Dengar (ABD) selama di sekolah. Orang tua nya mampu membeli teknologi asistif itu dengan harga yang lumayan fantastis. Dia tidak mengenakan ABD saat berkumpul dengan komunitas Tuli dan bersama kedua orang tuanya di rumah. Menurutnya penggunaan alat dengar tidak nyaman jika menempel di telinga seharian. Risih katanya.
Dalam bersosialisai dia lebih nyaman dengan teman Tuli dibanding dengan teman dengar. Menurutnya sesama Tuli saling mengerti bahasa isyarat. Sehingga pesannya tersampaikan dengan baik.
Meskipun begitu, dia juga tidak bisa menghindar berinteraksi dengan orang yang bisa mendengar. Alat bantu dengar dan smartphone merupakan media komunikasi Maira. Terkadang dia pun berbicara dengan komunikasi oral. Hanya orang-orang tertentu yang bisa memahami bahasa oralnya, seperti ibu dan sepupunya. Dari proses pertukaran pesan inilah, dia membangun hubungan sosialnya dengan baik.
Finansial menjadi hambatan bagi penyandang disabilitas dalam memiliki teknologi pengampu. Apabila dari keluarga yang mampu, uang tidak problem utama. Sebaliknya, bagi keluarga yang tidak mampu pembelian alat bantu menjadikannya extra cost dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kolaborasi Pemenuhan Teknologi Asistif Disabilitas
Kesenjangan ekonomi menyebabkan tidak semua disabilitas mempunyai alat bantu. Mengutip dari Solidernews.com (13/08/2024), World Bank menunjukkan 15-20 persen populasi miskin menyandang disabilitas di negara berkembang.
Tahun 2022 Eva Rahmi Kasim, Kepala Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Yogyakarta, menyatakan ada dua kebijakan yang perlu diterapakan dalam mencapai teknologi inklusif.
Pertama, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memfokuskan penyandang disabilitas untuk mendapatkan alat bantu yang lebih mudah dan murah.
Kedua, kolaborasi penyandang disabilitas dan industri lokal dalam menyediakan alat bantu. Dengan melibatkan dua partisipan tersebut memberikan peluang pekerjaan pada disabilitas dan membantu meningkatkan ekonomi masyarakat.
Pihak BRIN, Dr. Edi Hermawan, menjelaskan lebih lanjut bahwa tugas BRIN hanya berfokus pada riset desain teknologi asistif yang tepat untuk berbagai jenis disabilitas. Produksi masal bukan ranah badan riset ini tetapi bagian industri (pengembang teknologi).
Di webinar lain Antoni Tsaputra Ph.D, disabilitas fisik sekaligus akademisi dan peneliti di Padang, menyampaikan bahwa upaya pemenuhan teknologi asistif melibatkan seluruh komponen stakeholder. Mereka meliputi: pemerintah, pengembang teknologi, periset, akademisi, masyarakat, dan penyandang disabilitas.
Peran disabilitas dalam pembuatan alat bantu sangat penting. Mereka adalah individu yang mengalami langsung. Keterlibatannya membantu menentukan bagaimana teknologi pengampu itu sudah sesuai atau tidak dengan kebutuhan disabilitas.
Dengan adanya saling kerjasama sesama difabel dan non difabel, teknologi membantu kemaslahatan ummat. Jadi, semua orang dapat merasakan aksesibilitas melalui sarana dan prasana yang ramah dan nyaman.
“Teknologi berinovasi sebagai alat kemandirian penyandang disabilitas. Penciptaan alat bantu bukan sekedar mengembangkan teknologi canggih namun teknologi inklusif bagi disabilitas dan non-disabilitas,” imbuhnya dalam webinar Peran Teknologi dalam Memfasilitasi Kehidupan Difabel pada 20 Februari 2025.
Selain kolaborasi stakeholder, harga teknologi asistif juga perlu dipertimbangkan. Adanya investasi khusus kehidupan difabel akan membantu kebutuhannya. Sehingga mereka tidak terbebani dengan extra cost alat bantu, mulai dari membeli dan merawatnya. []