Mubadalah.id – Dalam bentuk ekonomi apapun, produksi selalu berhubungan dengan pabrik, buruh, dan pengusaha (majikan). Hubungan buruh dan majikan sering berada dalam ketegangan.
Dalam perekonomian nasional maupun negara maju dewasa ini, demo dan mogok kerja merupakan hal yang biasa ditempuh para buruh untuk menuntut hak-haknya.
Untuk mengupas tuntas permasalahan ini, para pakar harus menelaah secara lebih mendalam konsep buruh dalam Islam.
Relasi buruh-majikan yang merupakan simplifikasi dari relasi industrial, sebagai fenomena sosio-ekonomi pada dasarnya dipengaruhi oleh:
Pertama, peran, hubungan, institusi, proses, serta aktivitas-aktivitas dalam industri dan jasa.
Kedua, mengacu pada aktivitas sosial dalam pabrik yang mempengaruhi dan dipengaruhi aktivitas sosial ekonomi kemasyarakatan.
Ketiga, relasi industrial ini terpengaruhi oleh pandangan dan nilai. Serta agresi sosial yang berkembang dalam masyarakat sebagai ekspresi sosial, ekonomi dan politik masyarakat tersebut.
Dalam hal ini, relasi buruh-majikan dalam al-Qur’an berada pada posisi sebagai sesuatu yang konkret, yaitu nilai keadilan dan kesamaan.
Kesehatan relasi buruh-majikan dalam Islam secara langsung memperoleh legitimasinya dari al-Qur’an. Secara teoritis-praktis, al-Qur’an Allah SWT turunkan sebagai petunjuk kepada manusia (hudan li an-nas) dalam menyelenggarakan tugasnya sebagai khalifah di bumi dan sebagai hamba.
Pandangan-pandangan Al-Qur’an tersebut mengindikasikan manusia untuk tunduk patuh kepada Tuhan dengan cara meniadakan semua dzat selain Allah.
Sebagai wakil Allah di dunia, manusia harus menanamkan dan menyebarkan sifat-sifat ketuhanan di muka bumi (rahmatan Ii al-‘alamin) agar terjadi keseimbangan hidup sesama manusia.
Meski dalam tatanan sosial, semua kebenaran tidak harus kita ukur dengan kacamata moral. Tetapi moral dapat menjadi tolok ukur dalam mengamati kerangka kebenaran itu terjadi. Dalam hal ini, al-Qur’an memandangnya dengan antusiasme positif. []