Mubadalah.id – Persoalan penyusuan anak dalam fiqh memang bukan soal mu’âmalah biasa, seperti tolong-menolong (ta’âwun) atau sewa-menyewa (ijârah), yakni begitu pekerjaan atau kontrak selesai, berakhir pula hubungan sosial di antara dua pihak itu.
Pekerjaan “penyusuan anak” memiliki implikasi hukum syara’ yang serius, yakni bisa menggugurkan akad nikah yang telah dilangsungkan atau mengharamkan akad nikah.
Setetes air susu yang mengalir ke dalam mulut sang anak tidak saja berimplikasi pada penumbuhan rasa kekerabatan dan persaudaraan sepersusuan. Melainkan juga dapat mempengaruhi mata rantai nasabiyyah.
Apabila seorang laki-laki, pada masa kecilnya, pernah menyusu kepada seorang perempuan. Maka disepakati oleh para ulama bahwa ia diharamkan nikah dengan ibu tempat ia menyusu, dan seluruh perempuan yang mempunyai ikatan nasab dengan ibu susuan itu, baik secara vertikal maupun horizontal. Ketentuan ini secara tegas dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Nisâ’ [4] ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ (النساء، 23)
Artinya: “Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan…” (QS. An-Nisa: 23)
Saudara Perempuan Sepersusuan
Sekalipun ayat di atas hanya menyebutkan ibu dan saudara-saudara perempuan sepersusuan. Namun ulama fiqh menyatakan bahwa yang haram tidak terbatas pada ibu dan saudara perempuan sepersusuan saja.
Dalam hal ini, ibu susuan dan saudara perempuan sepersusuan berlaku hukum sebagaimana halnya ibu dan saudara perempuan kandung. Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm, setelah mengemukakan ayat tersebut, mengutip hadits Nabi SAW bahwa:
“يحرم من الرضاعة ما يحرم من الولادة”
Artinya: “Apa yang haram karena kelahiran haram juga sebab susuan”.
Maka jelaslah, implikasi hukum dalam hubungan persusuan memiliki jangkauan seluas hukum dalam hubungan nasab. Implikasi hukum yang umum kita kenal adalah keharaman melakukan akad nikah, karena itu masing-masing pihak kita sebut mahram.
Hanya saja, para ulama berbeda pandangan dalam memberikan syarat dan ketentuan hukum tentang susuan yang bisa menyebabkan keharaman nikah tersebut.
Titik perbedaan pandang mereka terletak pada soal berapa kali sedotan atau tegukan air susu itu diminum, jenis air susu yang bagaimana, dengan cara apa air susu itu disedot, dan hingga usia berapa bayi itu menyusu. []