Mubadalah.id – Sebagai seorang istri Nabi Muhammad SAW, Khadijah ra tentu tidak sekadar menenangkan dan beriman kepada Nabi, tetapi beliau mendukung dengan segala risiko yang akan menimpa dirinya.
Ini adalah pilihan politik, yang dilakukan seorang perempuan terhadap kelahiran sebuah agama agung. Khadijah ra. tahu bahwa peran politik ini bukan sesuatu yang mudah dan sederhana.
Ia tahu persis bahwa dengan mendampingi dan mendukung Nabi SAW, akan berhadapan dengan kekuasaan politik yang keras dan otoriter.
Hal ini karena risalah yang dibawa Nabi SAW membawa perubahan sosial yang cukup besar, yang akan menghancurkan kekuasaan status quo para elite Quraisy.
Risalah yang berdasarkan pada prinsip persamaan antara tuan dan hamba, kuat dan lemah, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, orang Arab dan yang bukan Arab. Sebuah prinsip yang sama sekali tidak dikehendaki para penguasa Quraisy saat itu.
Untuk peran Khadijah ra yang begitu agung itu, Nabi Muhammad SAW dengan penuh keharuan memberikan pernyataan:
“Demi Allah, sungguh Allah tidak memberikan pengganti seorang perempuan untuk menjadi istri bagiku yang lebih baik daripada Khadijah.”
“Ia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari kenabianku, ia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku. Bahkan Khadijah ra membantuku dengan harta kekayaannya ketika orang lain tidak mau memberiku, dan dari rahimnya Allah menganugeralikan anak-anak bagiku. Bukan dari perempuan-perempuan lainnya.”
Perempuan yang memiliki peran penting bagi pembentukan komunitas muslim awal tidaklah satu.
Peran Sahabat Perempuan
Di samping Khadijah ra., banyak lagi perempuan lain berperan aktif bagi proses peletakan dakwah Islam pertama. Kemudian mereka aktif berjuang, berhijrah, berkorban harta, dan bahkan nyawa.
Salah satunya adalah Sumayyah Ummu Ammar bin Yasir, seorang perempuan, yang pertama kali gugur mempertahankan iman.
Juga Ummu Habibah, Ummu Abdillah bint Abi Hatsmah, Asma bint Umais, dan perempuan-perempuan lain yang ikut berhijrah pertama kali ke Etiopia mencari suaka politik.
Juga Fathimah bint al-Khattab ra., yang berani berhadapan dengan Umar bin al-Khattab ra. yang saat itu masih kafir.
Hal senada, Asma bint Abi Bakr ra lakukan juga, ia berani mengantarkan makanan kepada Nabi SAW di Gua Tsur, ketika semua orang takut bertemu dan berhubungan dengan Nabi SAW. []