Mubadalah.id – Setiap tahun, umat Islam di berbagai penjuru dunia memperingati kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad SAW dengan cara yang berbeda-beda.
Di Turki, misalnya, seminggu menjelang Maulid, masjid-masjid dihiasi lampu dan lampion warna-warni. Rumah-rumah dicat putih, seolah menandakan kebersihan hati dan kegembiraan menyambut momen istimewa.
Sementara di Kairo, Mesir, jejak perayaan Maulid bisa ditelusuri sejak era Mamluk. Sejarawan Annemarie Schimmel dalam bukunya Muhammad Utusan Allah menuturkan bagaimana benteng Kairo pernah menjadi pusat perayaan besar-besaran, dengan jalan-jalan dipenuhi manusia yang datang untuk ikut merasakan semangat kebersamaan.
Hingga kini, tradisi itu masih hidup, salah satunya di Masjid Husein, Khan Khalili, yang selalu penuh dengan ribuan jamaah. Terutama pengikut tarekat.
Pakistan memiliki caranya sendiri. Perayaan akbar digelar di Minar Pakistan, Lahore, pada 11–12 Rabi’ul Awal. Ribuan orang berkumpul, mendengarkan ceramah, hingga menyaksikan film sejarah Nabi. Di sana, Maulid bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga ruang perjumpaan sosial, bahkan panggung budaya.
Tak hanya di negara-negara besar, Maulid juga menjadi tradisi lintas bangsa: dari Syiria, Lebanon, Yordania, Palestina, Iraq, Kuwait, Uni Emirat Arab, Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Nigeria, India, Sri Lanka, hingga Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Bahkan di benua Eropa, yang notabene bukan mayoritas Muslim, Maulid menemukan ruangnya. Masjid-masjid komunitas diaspora menggelar pengajian, doa bersama, hingga pawai kecil di jalanan kota-kota Eropa Barat.
Dari sini kita melihat bahwa Maulid Nabi telah melampaui sekadar ritual keagamaan. Ia adalah perayaan kebudayaan global umat Islam.
Kerinduan kepada Rasulullah Saw
Namun, di balik keragaman bentuk perayaannya, ada kesamaan yang tidak bisa kita abaikan yaitu kerinduan kepada Rasulullah, dan kerinduan kepada nilai-nilai yang beliau ajarkan.
Kita bisa bertanya: apa sebenarnya makna perayaan Maulid di dunia modern saat ini? Apakah ia hanya sebatas seremoni tahunan? Ataukah masih menjadi ruang untuk merefleksikan pesan profetik Rasulullah?
Jawabannya di satu sisi, memang ada perayaan Maulid yang cenderung seremonial dan berhenti pada pesta lahiriah. Namun di sisi lain, peringatan ini dapat menjadi momentum kolektif untuk membangkitkan nilai kasih sayang, keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan kepada kaum lemah yaitu nilai-nilai yang Nabi perjuangkan sepanjang hidupnya.
Justru di era sekarang, ketika dunia tengah menghadapi krisis kemanusiaan, ketidakadilan, perang, dan ketimpangan sosial, peringatan Maulid Nabi dapat menjadi ruang untuk meneguhkan komitmen moral umat Islam.
Dari Turki hingga Mesir, dari Pakistan hingga Eropa, Maulid mengajarkan bahwa kecintaan kepada Nabi seharusnya terwujud bukan hanya dalam lantunan shalawat. Tetapi juga dalam perilaku nyata yaitu membangun perdamaian, menjaga persaudaraan, dan memperjuangkan keadilan.
Tradisi memang boleh berbeda, tapi esensinya tetap sama. Peringatan Maulid Nabi di seluruh dunia adalah jendela yang memperlihatkan wajah beragam umat Islam. Sekaligus simpul yang menyatukan mereka dalam satu cinta: cinta kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Pada akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa Maulid Nabi bukan hanya tentang nostalgia sejarah kelahiran seorang tokoh besar. Lebih dari itu, ia adalah momentum tahunan untuk meneguhkan kembali pesan universal Nabi yaitu rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).