Mubadalah.id – Dalam Islam, perempuan memiliki hak untuk menolak kehamilan (atau untuk hamil) juga merupakan hal yang logis dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh terutama oleh suami. Al-Qur’an menyebutkan:
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman ayat 14)
Demikian juga dalam hal menentukan jumlah anak yang diinginkannya. Mayoritas ulama fiqh menyatakan bahwa anak adalah hak bapak dan ibunya secara bersama-sama.
Maka dengan demikian seorang perempuan (istri) bukan saja berhak mendapatkan kenikmatan seks dari suaminya. Melainkan juga berhak untuk menentukan kapan mempunyai anak dan berapa jumlahnya.
Selanjutnya apabila ia menolak untuk hamil, maka suatu cara dapat dilakukan misalnya dengan cara-cara sebagaimana diatur dalam program keluarga berencana. Dalam hal di mana ia mengambil cara-cara KB. Maka si istri juga berhak untuk menentukan alat kontrasepsi apa yang sesuai dengannya.
Untuk hal ini tentu saja ia berhak mendapatkan keterangan atau informasi yang benar tentang alat-alat kontrasepsi itu dan berhak pula menanyakan jenis kontrasepsi yang dapat menjamin kesehatannya. Konsekuensinya, pihak-pihak yang terkait dengan urusan ini: berkewajiban menyampaikannya secara jujur. []