Media saat ini benar-benar telah menjadi ruang yang sangat hidup, terlebih dimasa pandemi seperti sekarang, hampir seluruh kegiatan dialihkan menggunakan media dan secara online. Aktivitas penggunaan media sosial sudah tentu akan meningkat dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya.
Hasil riset dari We Are Social, perusahaan media sosial asal Inggris, bersama dengan Hootsuite. Dalam laporan “Digital Around The World 2019”, terungkap bahwa dari total 268,2 juta penduduk di Indonesia. Diantaranya 150 juta telah menggunakan media sosial. Dengan demikian, angka penetrasinya sekitar 56 persen. Hasil riset yang diterbitkan 31 Januari 2019 lalu itu memiliki durasi penelitian dari Januari 2018 hingga Januari 2019. Terjadi peningkatan 20 juta pengguna media sosial di Indonesia dibanding tahun lalu.
Berdasarkan hasil riset di atas, dapat dikatakan bahwa pengguna media sosial di Indonesia mencapai lebih dari setengah penduduk Indonesia. Tentunya tanpa ada lagi batasan umur dan juga status sosial disini. Mengingat seluruh komponen masyarakat sudah dapat menjangkau internet dengan mudah, dan aktif menggunakan smartphone dalam kesehariannya.
Ironisnya, kondisi ini tidak membuat kondisi perdamaian di Indonesia membaik. Justru memperburuk keadaan dimana, netizen (Pengguna media sosial) cenderung menyebarkan berita hoaks dan ujaran kebencian dimedia sosial. Media yang kemudian menjadi pusat informasi arus utama menempati posisi ditengah-tengah publik.
Ada hal menarik kaitannya antara perempuan dan media, yakni bagaimana kemudian perempuan memiliki peran baik secara langsung maupun tidak dengan media saat ini. Sehingga perlu dilakukan bagaimana perempuan dan media serta dalam media itu sendiri.
Perempuan dalam lensa media, dapat menjadi subjek atau pengguna media, dan juga bahkan dengan mudah sekaligus dijadikan objek. Akan ada dua kemungkinan di sini. Bagaimana kemudian jika sisi yang ditampilkan justru membuat perempuan semakin terbelakang, dan mengalami berbagai stigmatisasi bahkan marginalisasi karena posisinya sebagai perempuan.
Peningkatan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) juga terjadi selama masa pandemi ini. Menurut catatan Komnas Perempuan terbaru peningkatan ini sekitar 300% dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 281 kasus. Kasus yang sering terjadi berupa ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban yang dilakukan oleh pelaku. Dan masih banyak lagi lainnya.
Selain itu, belakangan marak beredar meme yang tidak memanusiakan perempuan sama sekali, salah satunya yang sempat viral adalah #positifkanistri yang digaungkan salama pandemi ini. Tentu hal ini tidak memperhatikan kondisi biologis perempuan yang tidak dialami laki-laki. Dengan viralnya tagar tadi mengangkat isu, membalas ribuan kematian dengan kelahiran. Tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya.
Hal ini kemudian yang mendesak literasi perlu menyentuh berbagai aspek. Khususnya dalam menjadikan perempuan subjek maupun objek di media. Karena jika tidak demikian, maka sistem patriarki yang ada di masyarakat juga terjadi di media. Yang menyebabkan sering terjadi candaan-candaan seksis dan misoginis terhadap perempuan.
Urgensi literasi yang ramah gender di media juga perlu digaungkan. Menyuarakan narasi-narasi pemberdayaan perempuan perlu menjadi gerakan kolektif dan kolaboratif antar komunitas saat ini. Dengan terus berjejaring. Hal ini sangat tampak beberapa tahun terakhir, gerakan-gerakan perempuan di Indonesia kembali saling merangkul dan berkolaborasi lagi.
Mengoptimalkan narasi-narasi yang ramah gender juga perlu. Salah satu cara untuk optimalisasi narasi ini adalah dengan menghadirkan perspektif perempuan pada setiap tulisan dan konten yang kita angkat. Agar konten di media tidak hanya bicara halal-haram, surga-neraka, dan perempuan sholihah saja. Akan tetapi bagaimana perempuan dan laki-laki saling berkolaborasi dan mengisi untuk menyuarakan keadilan dan kesetaran bagi seluruh umat manusia. Sehingga harmonisasi dapat diraih baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam media. []