• Login
  • Register
Selasa, 3 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Perempuan dalam Lintasan Sejarah Dunia Part II

Salman Akif Faylasuf Salman Akif Faylasuf
29/05/2023
in Publik
0
Sejarah Dunia

Sejarah Dunia

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebuah gambaran ketertindasan perempuan Indonesia dalam lintasan sejarah dunia, secara apik (meskipun fiktif), pernah Pramoedya Ananta Toer tuturkan dalam salah satu maha karyanya yang berjudul “Bumi Manusia.”

Dalam novel itu, Pramoedya menuturkan kisah seorang perempuan pribumi bernama Sanikem. Tokoh ini dapat kita katakan sebagai simbol perempuan yang mengalami marginalisasi dalam bentuk tidak mempunyai hak bicara untuk menentukan nasibnya sendiri.

Ayah Sanikem Sastrotomo adalah seorang juru tulis desa. Ia bercita-cita menjadi seorang juru bayar pabrik gula (suatu jabatan paling tinggi dari seorang pribumi di desa pada waktu itu).

Segala cara, termasuk menjilat administratur pabrik gula (Belanda), ia lakukan untuk mendapatkan jabatan prestisius tersebut. Untuk meraih cita-citanya itu pula, Sastrotomo tak segan-segan menjual anaknya, Sanikem, kepada administratur pabrik gula seharga 25 gulden.

Sejak saat itulah, dia menjadi seorang Nyai Ontosoroh, yang secara umum memiliki arti yang sangat negatif. Seorang perempuan yang menjadi istri yang tidak sah, bergantung dan tidak berdaya di bawah seorang laki-laki Belanda yang berkuasa secara ekonomi dan politik.

Baca Juga:

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Sejarah Kartini (1879-1904) dan Pergolakan Feminis Dunia Saat Itu

Perempuan dan Akar Peradaban; Membaca Ulang Hari Kartini Melalui Buku Sarinah

Perempuan tidak Memiliki Hak Bicara

Apa yang Nyai Ontosoroh atau Sanikem alami, adalah cermin dari keadaan gadis-gadis pada umumnya pada jaman itu. Seorang gadis ketika itu sama sekali tidak memiliki hak bicara dalam menentukan nasibnya sendiri. Diilustrasikan dalam bentuk gumaman meratapi nasib:

“… hanya bisa menunggu datangnya seorang lelaki, yang akan mengambilnya dari rumah, entah ke mana, entah sebagai istri nomor keberapa, pertama atau keempat.” (Toer, 1992, hlm. 84).

Dramatisasi cerita dalam novel yang menggambarkan perasaan Sanikem menghadapi sikap ayah yang tega menjualnya. Dan, ibu yang tidak bisa membelanya, terlukiskan lewat dialog Sanikem dengan sobatnya, sebagai berikut:

“Sungguh Ann…, aku malu mempunyai seorang ayah juru tulis Sastrotomo. Dia tidak patut jadi ayahku. Tapi aku masih jadi anaknya, dan aku tidak bisa berbuat sesuatu. Airmata dan lidah Ibu tak mampu jadi penolak bala. Apalagi aku yang tak tahu dan tak memiliki dunia ini. Badan sendiri pun bukan aku yang punya.” (Toer, 1992, hlm. 86).

Lahirnya Kesadaran Merintis Pergerakan Perempuan

Kisah-kisah perlakuan buruk terhadap perempuan dalam sejarah dunia tersebut tidak berarti sebatas kisah lama yang sudah lewat. Namun demikian, hari ini, kejadian seperti itu dapat saja tetap berlangsung dalam bentuk kemasan yang berbeda. Akan tetapi, perubahan jaman memunculkan juga suatu perubahan responsi dari masing-masing perempuan sebagai individu.

Realitas yang nampak bahwa, ada semacam kesadaran sebagai perempuan tidaklah harus sebagai pihak yang selalu menerima begitu saja kenyataan hidup. Proses evolusi kesadaran itu muncul dalam bentuk keinginan membentuk suatu serikat atau pergerakan perempuan yang ditujukan untuk memperbaiki nasib perempuan secara sosial, ekonomi, maupun politik.

Suatu pergerakan timbul biasanya terpicu oleh adanya semangat yang kuat untuk mengadakan perbaikan ke arah yang lebih adil, karena struktur sosial yang dianggap timpang. Begitu pun gerakan perempuan. Secara historis, gerakan perempuan di berbagai negara di dunia umumnya dipicu oleh kondisi sosial politik setempat.

Pada intinya gerakan perempuan ini bangkit dalam rangka untuk memperbaiki tatanan pemerintahan sekaligus kultural masyarakat yang cukup kondusif menciptakan gejala ketimpangan perlakuan antara perempuan dan laki- laki.

Menilik Revolusi Perancis

Di Eropa khususnya Prancis, Revolusi Perancis yang meletus tahun 1789 merupakan simbol bagi perlawanan berbagai golongan dalam masyarakat yang menghendaki perubahan dari pemerintahan kerajaan menjadi republik dengan semboyan liberte, egalite, fraternite (kebebasan dari penindasan, persamaan hak dan persaudaraan).

Terilhami oleh semboyan revolusi itu, perempuan ikut berjuang tetapi mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan cita- cita dari tokoh laki-laki. Fenomena itu mendorong timbulnya gerakan perempuan, meskipun pada awalnya organisasinya masih lemah. Setelah melalui tahapan yang sulit, gerakan perempuan di Perancis menjadi solid dan kuat pada 1870.

Sedangkan di Inggris, gerakan perempuan mulai tumbuh sejak ada kesadaran bahwa hak-hak perempuan Inggris cukup terpasung. Hal itu tertandai dengan belum bolehnya perempuan untuk memilih dalam pemilihan umum. Seperti kita ketahui pada abad ke-19 masyarakat Inggris juga mengalami banyak perubahan di bidang politik, sosial dan ekonomi.

Industrialisasi makin berkembang dan hak pilih diperluas ke golongan menengah dan bawah. Namun masih terbatas untuk golongan buruh. Sayangnya, hak pilih yang dianggap sebagai kunci untuk dapat ikut menentukan jalannya kebijakan dalam masyarakat tidak berlaku untuk perempuan.

Perlawanan Perempuan

Kenyataan tersebut menyulut perlawanan perempuan yang tertandai dengan munculnya gerakan perempuan, meskipun mendapat hambatan dari pemerintah Inggris pada masa itu. Perjuangan perempuan Inggris meskipun berliku tetapi mendapatkan hasilnya saat berakhirnya Perang Dunia ke satu, di mana perempuan mendapat hak pilih.

Di Amerika Serikat, gerakan perempuan mulai menggema setelah Amerika membebaskan diri dari koloni Inggris pada abad ke-19. Saat itu, berkembang keinginan untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kemanusiaan, termasuk penghapusan perbudakan. Banyak perempuan yang berjasa dalam hal ini, meskipun akhirnya mereka kurang mendapat pengakuan dari pihak laki-laki.

Perlakuan tidak adil itu menimbulkan gerakan perempuan secara formal dalam pertemuan bersejarah di Seneca Falls pada 19-20 Juli 1848. Dalam pertemuan itulah, pertama kali terwujud konkretisasi dari pergerakan perempuan untuk mengaplikasikan doktrin HAM pada perempuan. Hasil konkret itu tertuang dalam bentuk deklarasi yang terkenal dengan sebutan Declaration of Sentiments, yang disusun oleh Elizabeth Cady Stanton.

Rupanya, pertemuan Seneca Falls dihadiri oleh sekitar 100 orang, yang sebagian besar adalah perempuan. Dalam deklarasi itu, tertuliskan sebanyak 15 protes mengenai nasib perempuan. Ini mulai dari masalah lembaga perkawinan yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga, masalah hak perempuan terhadap kepemilikan properti, hingga masalah politik dan sosial, seperti partisipasi perempuan dalam bidang kedokteran, teologi, dan hukum.

Gerakan Perempuan di Asia

Keadaan serupa juga terjadi di wilayah dunia bagian Timur. Di Jepang, gerakan perempuan juga timbul dalam abad ke-19 dalam suasana gerakan rakyat yang menghendaki perubahan positif dalam masyarakat. Gerakan perempuan pada masa itu menuntut persamaan hak laki- laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Pun, peningkatan pendidikan bagi perempuan, penghapusan sistem selir dan penghapusan perizinan pelacuran.

Masih tentang gerakan perempuan. Terdapat benang merah yang tampak pada awal timbulnya sejarah dunia gerakan perempuan di negara-negara yang pernah mengalami penjajahan asing di benua Asia dan Afrika. Gerakan perempuan timbul seiring dengan gerakan kemerdekaan.

Dalam masyarakat yang terjajah, rakyat menolak penindasan ekonomi dan kultural oleh bangsa asing Perempuan ikut dalam perjuangan ini bahkan di dorong ikut berpartisipasi serta memperkuat gerakan kemerdekaan bangsa.

Di India, gerakan perempuan timbul pada akhir abad ke-19. Mereka ikut berjuang dalam bidang politik untuk melepaskan diri dari penjajah. Di samping itu, perjuangan di bidang sosial tampak dalam bentuk perlawanan perlakuan terhadap perempuan yang bertentangan dengan perikemanusiaan seperti wife-burning.

Satu peristiwa yang banyak terjadi, di mana istri sengaja dibakar jika kurang memenuhi pembayaran mas kawin yang dituntut oleh pihak suami serta pelecehan lain terhadap perempuan. Dan, pada intinya gerakan perempuan di wilayah Asia dan Afrika merupakan respon perlawanan terhadap kolonialisme, dan adat istiadat yang dirasakan bertentangan dengan perikemanusiaan.

Dari sini jelas, bahwa gerakan perempuan yang sejak 1960-an kita sebut gerakan feminis pada intinya mempunyai tujuan memperoleh perlakuan yang lebih baik. Yakni meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan untuk membentuk masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Sedangkan, di berbagai negara Amerika Latin, gerakan perempuan muncul dalam rangka untuk melawan kebijakan pemerintah yang otoriter. Di samping melawan perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Wallahu a’lam bisshawaab. []

Tags: bumi manusiafeminismegerakan perempuanPramoedya Ananta ToerRevolusi IndustriSejarah Dunia
Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkait Posts

Perbedaan Feminisme

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

2 Juni 2025
Teknologi Asistif

Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Perempuan Penguasa

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

31 Mei 2025
Ruang Aman bagi Anak

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

30 Mei 2025
Kasus Argo

Kasus Argo UGM dan Sampai Kapan Nunggu Viral Dulu Baru Diusut?

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Teknologi Asistif

    Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan
  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID