Mubadalah.id – Manusia merupakan eksistensi yang dibentuk oleh kebudayaan. Di dunia berbahasa Arab kalimat ini disebut: ‘al-Insan madaniyyun bi al-thab’i.
Kebudayaan biasanya kita definisikan sebagai kompleksitas ekspresi akal-budi (intelektual/ cipta), kerinduan batin (spiritualitas/rasa), dan kreatifitas (karsa) manusia dalam kehidupan.
Dengan begitu, kebudayaan adalah aktualisasi, seluruh unsur dalam diri manusia, tanpa pandang jenis kelamin, dan pengalaman dalam mengarungi kehidupan.
Ekspresi, kerinduan, dan kreatifitas tersebut pada gilirannya melahirkan nilai, norma, ide, gagasan, adat istiadat, tradisi, kesenian, hasrat, dan sebagainya. Semua ini pada perjalanannya membentuk pandangan dan perilaku masyarakat.
Secara naluriah, manusia menginginkan pengalaman kebudayaannya yang dapat orang lain terima dan ikuti. Sosialisasi kebudayaan kita lakukan melalui beragam media dan cara, sesuai dengan konteks masing-masing.
Ada banyak cara yang bisa kita gunakan untuk kepentingan tersebut, misalnya melalui tutur-cerita, dongeng (termasuk mitologi), berkesenian, drama, karya sastra, pengajian, dan sebagainya.
Kebudayaan berkembang dalam konteks yang selalu berubah dan berganti tak kunjung habis. Tetapi, pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang terus berproses untuk menjadi semakin baik dan menuju kepada kesempurnaan. Dan sesungguhnya, manusia adalah makhluk yang merindukan keindahan.
Agama dan Budaya
Agama hadir untuk manusia dan bukan untuk Tuhan. Dia tidak membutuhkan apa-apa dan siapa-siapa, wallaah ghaniyun ‘an al-‘alamin. Sebelum agama Tuhan turunkan kepada manusia melalui para utusan-Nya, manusia telah hadir dalam ruang dan waktu kebudayaan.
Dengan kata lain, sebelum agama diturunkan, manusia sesungguhnya telah berkebudayaan. Kehadiran agama dalam ruang dan waktu kebudayaan manusia bertujuan untuk mengarahkan dan memberikan petunjuk tentang apa yang baik dilakukan, dipikirkan, dan diekspresikan oleh manusia, baik untuk kepentingan personal maupun kolektif. Untuk tujuan yang sama pula, agama memberikan peringatan atas apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Al-Qur’an menyatakan dirinya sebagai, hudan li al-naas wa bayyinat min al-huda wa al-furqan. Ini merupakan bentuk kasih sayang Tuhan (luth Allah), mengingat manusia sering tidak mampu mengendalikan hasrat-hasrat yang rendah dan untuk kepentingan sesaat, sebuah kondisi yang selalu akan melahirkan malapetaka sosial-kemanusiaan.
Agama menawarkan jalan yang bisa manusia pilih berikut konsekuensi yang harus kita terima. Dalam hal ini, agama (Tuhan) selalu membuat dua macam petunjuk normatif: norma universal dan norma kontekstual. []