Salah satu isu yang mencuat dari peristiwa pembakaran rumah ibadat di Sigi Sulawesi Tengah adalah soal definisi “Rumah Ibadah”. Pihak aparat menyatakan tidak ada pembakaran Gereja melainkan sebuah “Pos Layanan”. Di lapangan, sebuah bangunan yang dikenali warga sebagai tempat ibadah salah satu kelompok dalam lingkungan gereja Kristen memang terbakar. Ini jelas bukan soal semantik bahwa “Pos Layanan” berbeda dari gereja, namun soal siapa yang punya otoritas untuk menentukan bahwa suatu tempat disebut sebagai Rumah Ibadah atau bukan.
Mungkin karena latar belakang pendidikan saya dari Perbandingan Agama, saya selalu sangat tertarik pada fenomena orang beribadat. Saya tertarik kepada ritual dan apapun yang dikenali dan diakui warga/umat/jamaah/komunitas tentang cara dan tempat mereka beribadah. Apapun ragam dan keyakinannya.
Belakangan ketika saya menekuni isu feminisme dan gender serta pengalaman sendiri sebagai perempuan, saya menjadi sangat sensitif dalam melihat, mengamati atau terlibat dalam ritual dan praktik ibadat berdasarkan cara suatu agama memperlakukan perempuan.
Ketika di Tengger tahun 1984, saya melihat ibadat-ibadat pemujaan agama Jawa Kuno Hindu Tengger secara formal seperti perayaan Karo atau Kasodo. Di lautan pasir Kaldera Gunung Bromosaya, menyaksikan seluruh ritual resmi dipimpin oleh para dukun desa yang semuanya lelaki. Ritual ibadahnya tertib, konsisten sesuai aturan dari A sampai Z, bersuara riuh sehingga terdengar apa yang didoakan. Para dukun itu memakai atribut pakaian resmi sebagai dukun. Ritual dijalankan selaras waktu yang ditentukan (umumnya malam hari).
Tapi di pagi hari sebelum hari Perayaan atau keesokan harinya, saya menyaksikan ibadat yang berbeda di tempat yang berbeda. Kaum perempuan melakukan ibadah mereka sendiri. Dengan pakaian seadanya, bersahaja, berdoa dalam senyap. Kaum perempuan itu berdoa sambil menyajikan persembahan makanan terbaik dari hasil bumi mereka.
Tempat itu disucikan oleh mereka, otoritas pengakuannya ditentukan oleh warga termasuk mereka sendiri. Tempat itu bisa berupa pokok kayu besar nan rindang, mata air abadi, bendungan, pemakaman leluhur, gundukan batu alam, atau sebuah penanda tempat kuburan ari-ari anak-anak mereka.
Hal serupa juga dapat kita amati di banyak tempat di negeri ini: Dalam tradisi Hindu Bali, Sunda Wiwitan, suku-suku asli di pedalaman, atau dalam agama-agama lokal lainnya. Jika Anda pergi ke Kelenteng, Anda akan menemukan satu tempat pemujaan yang secara khusus dapat memenuhi hasrat berdoa bagi perempuan: keselamatan anak-anak, perlindungan untuk rasa aman, rezeki, keselamatan suami, orang tua bahkan untuk meminta jodoh. Bagi mereka itulah Rumah Ibadatnya.
Ketika Rumah Kitab melakukan pemetaan Rumah Ibadah di Indonesia Timur di tempat mana umat Islam sebagai minoritas, kami mengidentifikasi tempat ibadat menurut pemahaman warga di sekitarnya. Rupanya semua tempat yang terkait dengan aktivitas umat Islam seperti madrasah, Rumah Yatim Piatu bahkan rumah ustadznya disebut sebagai Rumah Ibadah Umat Islam. Bagi warga sekitar ciri suatu bangunan disebut Rumah Ibadah umat Islam adalah ketika di tempat itu ada TOA dan adzan dikumandangkan.
Jadi tidakkah kita heran jika “Pos Pelayanan” di Sigi yang oleh pihak keamanan dianggap bukan Rumah Ibadah resmi, sementara warga menyebutnya sebagai Rumah Ibadah. Namun kita pun menyaksikan semakin resmi suatu agama semakin formal agama itu dijalankan, semakin formal pula dalam menentukan siapa pemilik otoritas dalam menentukan status sebuah rumah Ibadah.
Penentuan otoritas itu juga niscaya memiliki dimensi gender. Saya pernah hendak shalat di suatu masjid jami’, di tepi jalan yang cukup ramai dan gampang diakses warga. Setelah mengambil air wudhu saya digiring oleh petunjuk yang “penopticon” (merasa diawasi meski tanpa pengawas) untuk shalat di bagian belakang, baiklah! Namun sebelum masuk, saya terpana oleh dua pengumuman permanen yang sangat menyolok: “Dilarang Membawa Balita”, “Perempuan Haidl Tidak Boleh Masuk”.
Saya sudah menopause, dan saya hanya menjinjing laptop tak membawa balita atau bayi. Namun pengumuman itu telah menghentikan langkah saya, bahkan macet terkunci. Saya membatin, ini sepertinya bukan rumah ibadah bagi saya sebagai perempuan. Saya pun balik kanan, kembali ke mobil dan mencari rumah ibadah yang menerima ketubuhan dan peran sosial saya sebagai ibu yang melahirkan dan mengasuh anak-anak meskipun tetap di shaf belakang.
Ibu Nyai Masriyah Anva pimpinan pesantren Kebon Jambu Cirebon berkisah tentang Rumah Ibadah/Mesjid bagi perempuan. Di pesatren itu sebetulnya sudah ada mesjid besar untuk menampung ibadah santri dan warga pesantrennya. Namun ia merasa di mesjid itu perempuan menjadi sangat marjinal meskipun ia sendiri pimpinannya. Ia ingin perempuan punya rumah ibadah yang ramah bagi mereka.
Dan beliau tak main labrak main rombak aturan yang telah berlaku baku melainkan menyiasatinya dengan mendirikan mesjid bagi dirinya dan para santri putrinya. Ia mengatakan bahwa ia tak mau diletakkan di pojok-pokok mesjid, di mushala, atau di tempat yang seolah begitu jauh untuk menggapai Kekasih, Sang Maha Cinta, Allah SWT.
Ini memang bukan sebuah inovasi baru. Dalam sejarah Indonesia telah sejak tahun 1926 perempuan Muslim punya inisiatif mendirikan rumah ibadah bagi mereka sendiri atau disebut Masjid Istri (Masjid Perempuan). Seperti ditulis oleh peneliti/pegawai pemerintah Hindia Belanda G. Pijper dalam Pragmenta Islamika (Terjemahan Prof. Tujimah), inisiatif itu muncul dan diwujudkan oleh anggota perkumpulan Asiyiyah di Pengkolan Garut Jawa Barat dan di lingkungan Kauman Yogyakarta disusul tempat tempat lain. Dengan cara itu mereka mengatasi hambatan pembatasan itu dengan membuat rumah ibadat bagi mereka sendiri, dan otoritas atas Rumah Ibadat itu mereka klaim sendiri.
Jadi siapakah pemilik otoritas atas sebuah Rumah Ibadah? Bagi pengalaman perempuan rumah ibadah adalah rumah pribadi mereka tempat bagi mereka mengutarakan rasa jiwanya, tempat bermesra, bermanja, mengadu, mengaduh, menyatakan cinta atau sedih kepada Sang Maha Kasihnya.
Oleh karena itu otoritas Rumah Ibadah seharusnya tak ditentukan sepihak oleh negara melainkan juga menurut suatu umat. Rasa yang muncul dari keterikatan individu dengan tempat mereka beribadah harusnya terlindungi oleh negara, apapun bentuknya. Rezim “sertifikasi” saat ini seharusnya mampu mewadahi tafsir atas religiusitas dalam pengalaman jamaah/umat tak terkecuali perempuan. []