Mubadalah.id – Perempuan dan wanita secara istilah memiliki makna yang berbeda. Wanita berasal dari bahasa wani dan toto, identik dengan sikap halus, manutan atau patuh terhadap suami, dan sering beraktivitas di dalam rumah (domestik). Berbeda dengan perempuan, berasal dari kata empu artinya tuan, identik dengan sikap memimpin dan berkuasa, sering terlibat dalam aktivitas sosial misal, ia memiliki jabatan sebagai kepala perwakilan di suatu organisasi, pebisnis, pengusaha, manajer, dosen, dan lainnya.
Beragam jabatan yang tersedia bagi perempuan saat ini, benar-benar menjadi peluang emas untuk berkarir sebagaimana laki-laki. Patriarki di beberapa wilayah dan budaya, saat ini tidak lagi begitu dominan. Hal itu ditandai dengan semakin melonggarnya ruang gerak perempuan dalam berkarir, misal sebagai pebisnis. Cukup kita ketahui banyak sekali perempuan menggeluti dunia bisnis dan perdagangan dengan menjadi pedagang, pengusaha, serta investor.
Menjadi perempuan entrepreneur bukan suatu kesalahan, atau menyalahi kodrat perempuan dalam syariat agama disebabkan beraktivitas di luar rumah. Perlu kita ketahui bahwa salah satu istri Nabi Muhammad SAW, selain sebagai istri yang taat pada syariah agama, menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di ranah domestik, ia juga merupakan pengusaha atau perempuan entrepreneur, yaitu Sayyidah Siti Khodijah RA.
Sayyidah Siti Khodijah adalah istri pertama Nabi Muhammad SAW, yang selama hidupnya tidak pernah dipoligami. Nabi Muhammad SAW pun begitu mencintainya, sebab ia adalah orang pertama yang mempercayai Nabi, senantiasa setia menemani Nabi di setiap keadaan. Tidak hanya itu, harta dan aset milik Sayyidah Khodijah RA disumbangkan untuk perjuangan menegakkan Agama Islam. Sekilas tentang kisah hidupnya, ia berlatar belakang sebagai putri dari pengusaha sukses yaitu Khuwailid.
Kisah Sayyidah Siti Khodijah RA setelah menikah dengan Nabi Muhammad SAW, merupakan kolaborasi pasangan yang saling melengkapi. Nabi Muhammad SAW yang al-Amin pernah bekerja sama dengan Sayyidah Siti Khodijah dalam bisnis, berhasil meraup untung yang besar, pun demikian dengan Sayyidah Khodijah RA. Kehadiran Nabi Muhammad SAW, usahanya pun semakin laris dan dikenal orang-orang pada waktu itu. Hubungan bisnis mengantarkan mereka menjadi saling mengenal hingga akhirnya memiliki ikatan yang diberkahi Tuhan.
Meneladani Sayyidah Khodijah RA dengan mengikuti sikap-sikapnya yakni sebagai perempuan entrepreneur, apakah suatu kesalahan? Rasul pernah bersabda “cukuplah bagimu empat wanita terbaik di dunia, Maryam binti Imran, Khatidjah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, dan Asiyah istri Fir’aun” (HR. Ahmad, Abdurrazzaq, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim).
Beragam pendapat tentang perempuan karir, menuai respon pro dan kontra. Dengan argument rujukan sebagai landasan pengokoh bahwa perempuan hanya memiliki tiga aktifitas, sumur, kasur dan dapur. Perempuan entrepreneur bukankah tidak asing sejak zaman Nabi Muhammad SAW? Memperdebatkan tugas perempuan tidak seharusnya merujuk pada satu tokoh muslimah. Mereka lupa bahwa perempuan yang bernama Sayyidah Siti Khodijah RA selain sebagai istri yang berhati lembut, taat agama, ibu rumah tangga yang baik, setia pada suami dan taat agama, ia juga seorang pebisnis yang sukses.
Di sini secara budaya, perempuan entrepreneur dalam Islam sudah ada di zaman Nabi Muhammad SAW. Tentang pertimbangan kemudharatan bagi perempuan karir, bukankah setiap segala sesuatu sesuai dengan hukum kausalitas. Semuanya tergantung kekuatan iman setiap pribadi masing-masing.
Bagi perempuan single, beraktivitas atau memulai bisnis sangat mungkin dilakukan tanpa ada batasan yang mengikat, berbeda setelah menikah. Namun apakah setelah menikah tidak bisa berkarir? Tentu tidak demikian. Baik single maupun tidak peluang berkarir bagi perempuan masih terbuka luas, tergantung bagaimana membangun kesepakatan dan komitmen dengan keluarga.
Lalu apa saja yang harus diteladani dari sosok Sayyidah Siti Khodijah RA? Diantara kemampuannya dalam manajemen bisnis, bersaing secara sehat, optimis, suka bersedekah dan membantu orang lain. Selain itu, ia juga bermental kuat. Meski terlahir dari keluarga kaya, ia menjalankan bisnis dan mengembangkannya secara mandiri hingga ke negeri Yaman, Syam, dan lainnya. Kita sadari secara konteks memang berbeda dari saat ini, namun melatih mental dan menerapkan nilai-nilai dari pengalaman Sayyidah Siti Khodijah SAW adalah suatu kepatutan yang layak diimplementasikan oleh generasi muda di masa kini. []