Mubadalah.id – Cinta dalam mimpi adalah novel kedua karya Muyassarotul Hafidzoh yang terbit pada tahun 2020. Novel ini memiliki kandungan sosial yang harus terimplememtasikan dalam kehidupan nyata.
Ketika membaca novel ini, pembaca diajak untuk masuk kedalam karakter tokoh. Penulis novel menyajikan dengan bahasa yang ringan, mudah kita pahami. Adapula kandungan kitab ala pesantren seperti kitab Al-Mawaidh al-‘Usfuriyyah sehingga tidak menghilangkan khas pesantren yang ada.
Nilai kesetaraan dalam Novel Cinta dalam Mimpi
Setelah membaca novel cinta dalam mimpi, ada dua hal besar yang saya temukan tentang karakter perempuan. Yang pertama adalah tentang kecerdasan seorang perempuan. Semua tokoh perempuan dalam novel ini menunjukkan bahwa mereka adalah perempuan yang cerdas.
Farah dengan kecerdasan Ilmu pengetahuan dan pendalaman ilmu agamanya. Sosok Sari dengan ketelitian dan keuletannya ketika di Pesantren. Sosok Ning Sulma dan Fatimah yang sudah menyelesaikan studinya dan berlanjut mengabdikan ilmunya di pondok pesantren.
Yang kedua adalah tentang tekad dan keberanian perempuan
Tokoh perempuan yang ada dalam Novel adalah perempuan yang hebat, kuat, dan berani. Farah tergambarkan sebagai wanita kuat dan berani. Ujian dalam hidupnya selalu datang silih berganti, mulai dari pernikahan dini yang hampir menghancurkan cita-cita. Kemudian kepergian kedua orangtuanya, percintaannya dengan Gus Syauqi, dan juga ekonomi hingga akhirnya ia keluar dari pondok dan berjuang untuk tetap hidup walaupun tanpa orang tua.
Kemudian sosok Sari yakni saudara Farah, ia begitu berani dalam mengajarkan dan mengingatkan mana perkara haq dan bathil. Sari juga tergambarkan sebagai santri yang sangat bertanggungjawab dalam menjalankan tugasnya sebagai santri Ndalem.
Kemudian yang terakhir adalah sosok Ning Sulma, dia berani menolak perjodohannya dengan gus Syauqi. Ning Sulma melawan budaya patriarki yang ada di dalam keluarganya dan mempertahankan haknya untuk memilih siapa yang akan menjadi suaminya. Selain itu pernikahan harus berdasarkan cinta. Tanpa cinta maka hanya menciptakan keburukan yang akan lebih besar mudaratnya.
Ketiga karakter perempuan dalam novel tersebut adalah perempuan yang sangat menginspirasi karena ketiganya adalah sosok perempuan yang pintar, kuat, dan berani.
Kesetaraan dalam Al-Qur’an
Ini menunjukkan bahwa menjadi perempuan bukan kendala untuk seseorang menjadi pintar, kuat, dan berani. Hal ini tergantung dari seberapa kuat tekad yang kalian miliki karena faktanya Allah tidak pernah membedakan penciptaan laki-laki dan perempuan, hal ini seperti yang Allah jelaskan dalam Q.S an-Nisa ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti”. (Q.S Al-Hujurat ayat 13).
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak pernah membedakan kecerdasan ataupun kemuliaan laki-laki dan perempuan. Menjadi laki-laki bukanlah sebab orang tersebut menjadi cerdas dan berani, ataupun sebaliknya. Tetapi akal seseorang bisa dikatakan cerdas sebab pembiasaan, latihan, dan pendidikan dan pengetahuan yang dimilikinya, dan tidak ada kaitannya dengan gender laki-laki atau perempuan.
Muyassarotul Hafidzoh menyajikan novel yang ramah terhadap perempuan,sifat dan kepribadian perempuan yang ada dalam novel sangat diperhatikan. Tujuannya agar tidak ada diskriminasi antara tokoh laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama memiliki porsi yang sama termasuk kecerdasan dan keberanian. []