Mubadalah.id – “Miris”. Begitu saya mengawali tulisan atas kasus bunuh diri seorang anak lulus SMP di Kepulauan Arjasa Sumenep, Madura yang sudah tidak kuat menahan kenyataan perjodohan oleh orang tuanya. Pada kenyataannya, pernikahan tersebut dilakukan sudah kedua kalinya. Pertama, pernikahan siri yang dilakukan membuat korban melarikan diri.
Kedua, pernikahan secara paksa ini sudah disetting oleh orang tuanya, dengan memasukkan si anak ke dalam kamar. Kamar tersebut sudah ada calon mempelai. Singkat cerita, masyarakat berpura-pura melakukan penggrebekan dengan niat bahwa sang anak mau menikah. Nyatanya, pada siang siang menjelang sore, sang anak meninggal lantaran meminum racun. Gadis tersebut sebenarnya ingin sekali melanjutkan SMA.
Membaca kabar tersebut saya justru amat sedih. Menjadi anak perempuan, menjadi seorang ibu, atau menjadi apapun perannya sesama perempuan. Sebagai perempuan yang sama dilahirkan di pulau Madura, setidaknya kasus ini cukup menjadikan pukulan yang amat sakit bagi saya melihat berbagai fenomena ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.
Kesadaran pendidikan, misalnya. Saya turut ingin bersuara bahwa hingga hari ini, tidak sedikit orang tua di Madura yang masih buta soal pendidikan. Perempuan masih dianggap asing untuk memperoleh pendidikan, sebab apalah gunanya pendidikan bagi perempuan. Sebab akhirnya, perannya adalah domestik.
Saya masih ingat betul, bagaimana meyakinkan orang tua untuk bisa melanjutkan jenjang perguruan tinggi dengan berbagai pendekatan dan penjelasan yang amat panjang. Kekhawatiran akan tidak bisa menikah, atau menjadi perawan tua, hingga tidak akan ada laki-laki yang akan menikahi sebab sang perempuan berpendidikan tinggi menjadi phobia yang berlebihan bagi orang tua.
Pola relasi patriarki dalam hubungan suami-istri yang menghendaki bahwa laki-laki harus lebih tinggi masih mengakar kuat. Misalnya jika laki-laki lulusan sarjana, maka sang istri maksimalnya lulusan sarjana. Menjadi sebuah aib, jika pendidikan perempuan lebih tinggi daripada suami. Begitu kiranya untuk menggambarkan.
Relasi semacam ini barangkali sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat yang hidup di perkotaan, seiring dengan berjalannya waktu dan keterbukaan berbagai ragam ilmu dan jenjang pendidikan yang ditempuh oleh orang tersebut. Namun, di pelosok Madura, daerah yang sulit dijangkau oleh sinyal internet, dengan kesadaran orang tua yang rendah, budaya semacam ini terus mengakar.
Bagaimana dengan Perkawinan Anak?
Dengan kompleksitas problem menjadi perempuan Madura, perkawinan anak juga menjadi persoalan serius. Anehnya, jika dilingkungan saya, perkawinan anak justru tidak hanya dikehendaki oleh orang tua, anak lulusan SD-SMP turut menghendaki sebuah pernikahan. Sebab bagi mereka, tidak ada yang perlu dikejar soal pendidikan bagi perempuan.
Saya justru berpikir bahwa menikah tidak lagi menjadi ajang yang sakral, pilihan hidup yang akan dijalani seumur hidup. Melainkan menjadi perlombaan, setiap perayaan lulus sekolah, maka selalu ada saja yang menikah. Hanya beberapa perempuan saja yang berani melanjutkan pendidikannya. Tidak banyak perempuan Madura yang tinggal di perkampungan saya memiliki mimpi, semangat untuk sekolah, memperoleh pengetahuan dan mengejar cita-cita.
Berada di lingkungan yang terus-terusan membahas pernikahan, mempermasalahkan soal pernikahan, turut terbawa arus agar bisa sama seperti yang lain, yakni menikah. Saya masih ingat bagaimana orang tua turut mempersoalkan pernikahan lantaran anak tetangga yang hanya lulusan SMP atau SD sudah menikah semuanya, sedangkan anaknya yang lulusan sarjana belum kunjung menikah. Katanya ini aib, dan ini benar-benar tidak masuk akal bagi saya.
Namun, kasus bunuh diri lantaran pemaksaan pernikahan terhadap korban kiranya menjadi persoalan serius bagi saya. Berapa banyak anak perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, hak hidup, hak memilih lantaran pemaksaan pernikahan. Kasus ini saya rasa tidak hanya di Madura. Di Indonesia yang masih sangat kental budaya patriarki turut menjadi kacamata kita untuk terus mengkawal berbagai regulasi yang mengatur persoalan ini.
Maka penting, untuk terus menyuarakan RUU-PKS dalam ruang apapun. Berbagai kasus yang menimpa perempuan di berbagai belahan bumi Indonesia nyatanya masih belum cukup untuk membuka pandangan kita terkait persoalan ketidakadilan. Jika tidak melihat perempuan, setidaknya melihat dari kacamata kemanusiaan yang seharusnya memperoleh hak-haknya sebagai manusia. Sebab Tuhan menciptakan perempuan bukan hanya untuk menikah, bereproduksi. Lebih dari itu, perempuan sama-sama manusia yang memiliki hak sekolah, hidup, bekerja, dll. []