Mubadalah.id – Wali yang dimaksud di sini adalah orang yang bertanggung jawab melangsungkan ucapan akad nikah. Lazimnya, akad nikah berlangsung antara dua laki-laki calon mempelai laki-laki dan wali dari keluarga calon mempelai perempuan.
Wali dari pihak perempuan ini bisa saja mewakilkan pengucapan akad nikah tersebut kepada tokoh agama atau pejabat pemerintah dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang keduanya selalu laki-laki.
Lalu, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bolehkah perempuan menjadi wali dalam akad nikah? Bukankah perempuan diperbolehkan, dan sudah banyak terjadi, melangsungkan semua akad-akad ekonomi, sosial, dan politik?
Mengapa perempuan tidak boleh dan tidak ada yang menjadi wali dalam pernikahan? Ada dua pembahasan dalam hal ini.
Pertama, perempuan yang menjadi wali nikah bagi dirinya sendiri, sehingga ia bisa melangsungkan sendiri akad nikahnya. Sebagaimana calon mempelai laki-laki, tanpa perlu wali dari keluarganya yang laki-laki.
Dalam kondisi ini, termasuk juga perempuan yang mewakilkan ucapan akad nikah untuk dirinya sendiri kepada orang lain. Baik tokoh agama, keluarga, maupun pejabat pemerintah.
Kedua, perempuan yang menjadi wali nikah untuk orang lain, yang bertanggung jawab melangsungkan atau mengucapkan akad nikah untuk kepentingan orang tersebut yang di bawah perwaliannya.
Ketika Aisyah R.a Menjadi Wali Nikah
Di samping itu, ada teks lain yang diriwayatkan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ tentang Aisyah r.a. yang menjadi wali yang menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki.
Hadis tersebut sebagai berikut:
Dari Abdurrahman bin al-Qasim, dari ayahnya al-Qasim bin Abi Bakr al-Shiddiq r.a., bahwa Aisyah r.a. menikahkan Hafshah bint Abdurrahman dengan seorang laki-laki bernama al-Mundzir bin al-Zubair.
Saat itu, Abdurrahman (ayah Hafshah) sedang tidak ada, karena berada di Syam. Ketika ia datang dari Syam, ia mengeluh, “Orang sepertiku mereka perlakukan seperti ini? Orang sepertiku ia langkahi untuknya begitu saja?”
Lalu Aisyah r.a. berbicara dengan al-Mundzir bin al-Zubair. Dan al-Mundzir kemudian berkata, “Semua ini (keputusannya berada) di tangan Abdurrahman.”
Lalu Abdurrahman pun menjawab, “Saya tidak bermaksud membatalkan akad yang telah kamu langsungkan, (wahai Aisyah)” Dan Hafshah pun tetap hidup serumah bersama al-Mundzir. (Muwaththa’, no. 1167).
Di samping untuk menolak larangan perempuan dewasa yang menikahkan hidupnya sendiri. Teks ini juga mengindikasikan bahwa perempuan bisa menjadi wali nikah dan melangsungkan akad nikah bagi orang lain.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.