Mubadalah.id – Saya berkesempatan menonton Film Mission Impossible – Dead Reckoning Part One yang disutradari oleh Christopher McQuarrie. Garapan sutradara keren ini sangat apik dan enak kita tonton. Dia juga masyhur sebagai penulis skenario dan produser.
Tahun 1995, berhasil meraih Academy Award untuk permainan latar asli terbaik dalam film The Usual Suspects. Film berdurasi 3 jam ini cukup mendebarkan. Ada adegan ekstrim yang cukup fantastic.
Aksi laga Tom Cruise dalam Film ini terlihat lebih sempurna, karena peran dua orang perempuan tangguh sebagai mitra setara yang memiliki kemampuan seimbang. Hayley Atwell, sebagai Grace. Seorang agen misterius, pencuri yang terampil dan cerdas. Lalu Rebecca Ferguson, sebagai Ilsa Faust.
Agen perempuan tangguh dari pasukan khusus M 16. Ia sangat terlatih, terampil dalam menggunakan berbagai senjata otomatis. Bidikannya selalu tepat sasaran. Dua perempuan ini adalah sekutu Ethan Hunt (Tom Cruise) dalam cerita heroiknya.
Pemeran utama laki-laki lainnya adalah Gabriel yang diperankan oleh Esai Morales. Seorang penjahat yang pernah menjadi rekan Hunt, tetapi berbalik menjadi musuh. Penampilan Ethan menjadi lebih menarik oleh kehadiran Paris (Pom Kolementieff).
Para Perempuan Tangguh
Perempuan berdarah blasteran Korea – Rusia ini berlaku sebagai seorang pembunuh bayaran yang sangat kejam, berani, memiliki kemampuan bela diri tangguh. Tanpa kehadiran Paris, peran Gabriel (Esai Morales) hanya akan nampak sebagai penjahat biasa saja.
Perempuan tangguh keempat yang juga tampil dengan sangat elegan adalah Vanessa Kirby. Ia mampu memerankan sosok Alanna Mitsopolis. Seorang penyelundup senjata yang terkenal dengan nama White Widow dengan sangat piawai.
Gesture tubuh, mimik muka serta totalitas bermain perannya telah menjadikan kualitas aktingnya begitu prima. Sebagai penjahat berkelas atas, ia mampu menaklukkan para pengawal laki-laki yang anggapannya memiliki kemampuan tinggi.
Para laki-laki jagoan itu harus bertekuk lutut di hadapan perempuan yang tidak hanya cantik, tetapi juga cerdas, memiliki perhitungan matang dan berkarakter. Ia memang sedang memiliki ambisi besar untuk menaklukkan dunia. Biasanya, peran seperti ini selalu kita identikkan dengan laki-laki. Tetapi dalam cerita Film ini, peran itu telah dimainkan oleh tokoh perempuan dengan memukau.
Peran Perempuan
Saya menangkap pesan positif di luar kebiasaan umum dalam hal pembagian peran perempuan pada Film ini. Sosok perempuan yang terepresentasi oleh 4 aktris tersebut sangat berbeda dengan film-film laga lainnya. Tidak ada kesan eksploitasi sensualitas tubuh perempuan dalam setiap adegan yang mereka perankan.
Para perempuan mampu tampil prima dalam keseluruhan cerita. Mereka tidak hanya menjadi objek seksual. Di mana kerap menggunakan kemolekan tubuh perempuan sebagai alat penggoda demi tercapainya misi baik yang direpresentasi oleh laki-laki.
Film ini mampu menghapus kesan umum yang acap muncul dalam cerita Film laga. Biasanya, selain hanya menjadi objek pengumpan, perempuan akan kita hadirkan sebagai sandera yang lemah hingga butuh pertolongan.
Lalu datang seorang tokoh jagoan laki-laki yang mampu menyelamatkanya dari sekapan penjahat. Sangat umum dan monoton. Kisah seperti itu tidak terjadi dalam film laga ini. Sebaliknya, para perempuan tampil menjadi sosok manusia yang punya ambisi besar untuk menjadi penguasa dunia.
Para perempuan yang tampil dalam film ini juga telah mampu menumbuhkan kesan kuat. Mereka hadir sebagai penyeimbang terhadap dua sosok laki-laki (Ethan Hunt dan Gabriel) yang dipersepsi hebat dalam banyak hal. Kehadiran para perempuan itu tidak sekedar menjadi pemanis atau objek pemuas syahwat.
Mereka tampil sebagai mitra sejajar yang mampu mewujudkan keseimbangan peran. Tanpa kehadiran empat tokoh perempuan itu, karakter heroik para laki-laki menjadi samar.
Melawan Kodrat?
Seorang teman memprotes sikap saya yang ia anggap kelewat memuji peran perempuan dalam Film ini. Menurutnya, Film itu telah menyalahi kodrat manusia dan tidak masuk akal. Baginya, orang yang pantas berperan sebagai jagoan berantem itu laki-laki.
”Mana ada perempuan bisa seberani itu. Jago berkelahi, pemberani, terampil menggunakan senjata lagi. Gak bener tuh Film”. Tegasnya.
Saya gagal meyakinkannya. Dia belum tersadar bahwa peradaban manusia terus berkembang. Zaman telah berubah. Para perempuan yang giat belajar bela diri, rajin berlatih menggunakan senjata, hingga terampil, sangat bisa mengalahkan laki-laki. Itu hal yang sangat lumrah.
Namun, dia tetap menyanggah. Menurutnya, dunia ini memiliki garis pemisah yang tegas, antara laki-laki dan perempuan. Masing-masing harus berlaku sesuai kodratnya. Bentuk perilaku kodrati yang ia pahami pun hanya berdasarkan imajinasi dan pemahamannya saja. Jika ada praktik yang keluar dari pakem itu, berarti keliru. Karena kaidah itu terjadi di luar ruang imajinasinya.
Perempuan dalam Sejarah
Pada zaman yang sudah berjarak panjang dari peradaban kaum jahiliyah ini, proses pembebasan perempuan dari pembatasan peran di ruang publik, belum sepenuhnya bisa terwujud. Masing-masing memiliki alasan. Baik yang hendak membebaskan atau tetap membatasi. Yang pasti, kita belum mampu membedakan antara ajaran yang bersumber dari adat suatu masyarakat atau ajaran murni agama.
Dalam sejarah peradaban manusia, memang pernah ada praktik dari budaya Arab Jahiliyah yang memperlakukan perempuan dengan sangat keji. Budaya pembunuhan bayi perempuan adalah contohnya. Bagi mereka (dulu), kelahiran bayi perempuan mereka anggap akan membawa aib pada keluarga.
Al-Qur’an telah melarang perbuatan keji itu melalui surat 16: 58-59.
Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah (58)
Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu (59). []