Mubadalah.id – Beberapa hari di Yogyakarta terasa begitu singkat. Namun, waktu yang terbatas itu membawa saya lebih dalam pada percakapan yang jarang terdengar: tentang menjaga bumi, tentang perempuan, dan tentang perlawanan yang dilakukan dengan langkah-langkah kecil, sering kali dalam diam.
Pada 22–24 Juli 2025 lalu, saya mengikuti Konsolidasi Jaringan Ulama Perempuan untuk Aksi Nyata Pelestarian Lingkungan dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan, yang diselenggarakan oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) bersama Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa).
Forum ini bukan sekadar ruang berbagi cerita, tapi peneguhan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari tanggung jawab spiritual, sosial, dan kemanusiaan kita bersama.
Sejak KUPI menetapkan fatwa tentang keharaman perusakan lingkungan (2017) dan kewajiban pengelolaan sampah berkelanjutan (2022), jaringan ulama perempuan di berbagai daerah terus bergerak—tanpa banyak sorotan.
Di forum ini, saya mendengar langsung kisah mereka yang melangkah dengan cara masing-masing. Ada yang menanam tumbuhan lokal, membudidayakan maggot, mengolah teratai menjadi keripik, hingga menyulap limbah plastik menjadi hiasan cantik. Bukan sekadar teori, yang mereka jalani adalah laku hidup, yang tumbuh dari akar kesadaran akan tanggung jawab kepada bumi.
Dalam sesi kunjungan lapangan, kami menyambangi sebuah bank sampah di salah satu kelurahan. Di sana, sekitar 80 kepala keluarga rutin memilah sampah, mengolah limbah dapur menjadi pupuk cair, dan menanam sayur seperti tomat dan cabai.
Meski tanpa istilah teknis, praktik mereka mencerminkan upaya nyata membangun kehidupan yang lebih ramah lingkungan. Budidaya maggot dan sistem daur ulang di komunitas ini adalah wujud ekonomi solidaritas. Tumbuh dari kepedulian bersama, bukan sekadar untung-rugi.
Sikap terhadap Dampak Lingkungan
Yang paling membekas bagi saya adalah kisah Ibu Maemunah Jebing, seorang aktivis lingkungan dari Jember, Jawa Timur. Ia memilih berhenti menyetrika pakaian dan tidak lagi mengenakan perhiasan emas, sebagai bentuk sikap terhadap dampak lingkungan dari konsumsi listrik dan aktivitas tambang.
Bukan gaya hidup ekstrem, melainkan komitmen pribadi yang penuh makna. Lewat pendekatan ekofeminisme, ia mengajak kami melihat keterkaitan antara kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial, yang sama-sama lahir dari sistem yang menempatkan alam dan kelompok rentan sebagai objek eksploitasi.
Menurut Ibu Maemunah, kita sedang menghadapi krisis jamak yang saling berkait. Lingkungan, ekonomi, sosial, teknologi, dan geopolitik. Tak bisa lagi tertangani dengan pendekatan sektoral. Kita butuh cara pandang baru yang menyatukan persoalan-persoalan itu sebagai satu kesatuan.
Dari para peserta forum, saya belajar banyak. Salah satu hal yang paling saya ingat adalah bahwa pelestarian lingkungan bukan sekadar wacana, tapi medan perjuangan sehari-hari. Yang menarik, justru para perempuan di komunitaslah yang sering kali lebih dahulu bergerak. Diam-diam, mereka telah menunjukkan arah.
Sebagai seseorang yang tumbuh di lingkungan pesantren, saya menyadari bahwa jihad bukan selalu soal konflik terbuka atau perlawanan keras. Ia bisa hadir dalam bentuk ikhtiar-ikhtiar kecil yang berkelanjutan: menjaga kebersihan, mengurangi konsumsi berlebih, dan mengajarkan anak-anak memilah sampah. Semua itu bagian dari iman, dari bentuk syukur yang nyata kepada Sang Pencipta.
Ruang Konsolidasi
Forum ini juga menjadi ruang konsolidasi. Kami menyusun sembilan butir seruan kepada banyak pihak: pemerintah, pelaku usaha, media, lembaga pendidikan, hingga masyarakat umum. Intinya: menjaga lingkungan adalah tanggung jawab bersama.
Pemerintah perlu menegakkan hukum terhadap perusakan lingkungan. Dunia usaha harus lebih berpihak pada ekonomi berkelanjutan. Media sebaiknya berpihak pada kepentingan rakyat. Pesantren, sebagai ruang pendidikan berbasis nilai, perlu mengambil peran aktif dalam integrasi isu lingkungan ke dalam keseharian.
Akhirnya, saya pulang dengan membawa banyak oleh-oleh di kepala. Bukan semata karena hal-hal yang baru, tapi juga ada makna yang terasa jadi lebih dalam. Di pesantren tempat saya mengabdi, misalnya, kami telah memulai berbagai langkah sederhana. Mendirikan bank sampah, menanam kebun sayur organik, menyusun modul pengajian bertema lingkungan, dan membiasakan penggunaan wadah isi ulang.
Forum ini membuat saya melihat bahwa apa yang kami lakukan bukan sekadar rutinitas, melainkan bagian dari gerakan yang lebih besar, lebih bernilai, dan lebih berdampak dari yang saya kira sebelumnya.
Forum ini telah menjadi cermin: sejauh mana kita, sebagai individu dan komunitas, telah menjalankan tanggung jawab menjaga bumi? Saya melihat wajah-wajah perempuan yang, meski tak dikenal luas, telah membangun fondasi gerakan lingkungan dari dapur, halaman rumah, dan ladang mereka. Tanpa tepuk tangan, tanpa sorotan. Tapi dari situ, gerakan yang membumi itu lahir.
Makna Jihad
Jihad hari ini tak selalu hadir dalam bentuk suara lantang atau aksi besar. Kadang ia justru berbentuk keputusan-keputusan kecil yang konsisten: memilah sampah, tidak berlebihan dalam konsumsi, memanfaatkan kembali barang yang ada, dan menanamkan kesadaran itu sejak dini. Sebuah jihad yang sunyi, namun mengakar. Jihad yang senyap, namun mengubah.
Dan seperti ditunjukkan oleh para perempuan luar biasa dalam forum ini, perubahan tidak selalu datang dari pusat kekuasaan. Ia bisa lahir dari sudut-sudut kecil yang nyaris tak terlihat: dari kelurahan sederhana, dari pesantren yang jauh dari keramaian, dari komunitas yang berjalan dengan niat tulus.
Justru dari sanalah harapan tumbuh—harapan akan bumi yang lebih adil dan lestari. Terjaga oleh tangan-tangan yang bekerja dalam diam, dengan cinta yang tak banyak berkata-kata. []