Mubadalah.id – Komisioner Komnas Perempuan, Riri Khariroh pernah menjelaskan, selama 10 tahun terakhir, terjadi pergeseran peran perempuan dalam jaringan radikalisme-terorisme. Karena perempuan dicekoki dengan ideologi radikal oleh suami dan kelompoknya. Akhirnya dia siap menjadi martir dan pengantin bom. Perempuan menjadi korban dari struktur di jaringan terorisme (merdeka.com 22/03/19).
Senada, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fitri Bintang menyebut alasan munculnya pelaku teroris perempuan. Mulanya perempuan JI (Jamaah Islam) itu hanya pendamping dan tidak diberi tahu suaminya atau dalam kasus tertentu mereka hanya diminta mengantarkan logistik tertentu dimana dia tidak tahu isinya.
Saat ini, di era Jamaah Ansharut Daulah (JAD), para istri teroris lebih aktif. Mereka mulai bergerak membuat kelompok melalui percakapan di aplikasi perpesanan instan. Selanjutnya mereka diizinkan melakukan amaliah atau aktivitas pemboman (detik.com 21/05/18). Terbaru peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto di mana si perempuan juga ikut terlibat, suami incar Wiranto dan istri serang polisi (Harian Jawa Pos 11/10/19).
Tidak hanya dalam tindakan terorisme, perempuan juga menjadi pelaku aktif dalam infiltrasi ideologi Islamis-radikal ke masyarakat Indonesia. Dalam gerakan kelompok Islamis-radikal, seperti eks-HTI, perempuan justeru sejak awal telah mandiri dan mempunyai struktur kepemimpinan tersendiri.
Di arena publik, mereka mempunyai Muslimat Hizbut Tahrir (MHTI), diksi “muslimat” dipakai untuk mendekatkan secara psikologis dengan muslimat NU. MHTI melakukan kajian sendiri, melakukan seminar nasional dan internasional, mereka juga merangsek ke masyarakat mendekati emak-emak.
Pascapembubaran HTI, perempuan eks-HTI (MHTI) dijadikan avant garde yang justeru semakin gencar terjun ke masyarakat melakukan pendekatan secara personal. Mereka tidak hanya masuk ke masyarakat awam, tapi menusuk ke jantung atau pusat-pusat kekuatan di masyarakat.
Bulan Muharam lalu, paling tidak ada tiga keluarga Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang yang didatangi pasukan emak-emak eks-HTI sambil membawa tabloid Media Umat. Mereka ulet mendatangi keluarga Tambakberas walau sudah dikatakan bahwa kami adalah muslimat NU.
Uletnya tidak hanya di situ, semisal saat mendatangi rumah seorang ibu nyai sepuh, lalu oleh santri dikatakan bahwa ibu nyai masih sibuk ada kegiatan, si emak-emak eks-HTI ini bilang akan menunggunya. Tidak berhenti di situ, famili yang tepat bersebelahan dengan rumah saya juga didatangi, kecuali rumah saya.
Kelompok ini memang menyasar pusat-pusat kekuatan, maka tidak aneh bila ada istri aparat negara yang terpengaruh akhirnya ikut-ikutan membela gagasan khilafah. Atau justeru ada polisi wanita terpengaruh dan diduga terlibat dalam jaringan teroris yang ternyata sudah lama aktif dalam jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi (jawapos.com 9/10/19).
Perempuan adalah Koentji
Pemilihan perempuan baik sebagai subyek maupun obyek dalam misi mereka tentu berdasar pertimbangan strategis, bukan karena pertimbangan “kepepet” seperti selama ini yang disangka oleh beberapa orang. Perempuan pada umumnya dianggap lebih sopan dan “soft” dalam bergaul sehingga mudah diterima tuan rumah.
Sisi lain, perempuan dianggap tidak punya agenda “berat” saat kunjungan, bisa jadi hanya dianggap mau ngrumpi sehingga tidak dicurigai saat mendatangi rumah masyarakat. Realitas demikian dimanfaatkan betul oleh kelompok Islamis-radikalis.
Perempuan juga dianggap sabar dan telaten sehingga lebih tepat mendekati emak-emak di masyarakat. Dahulu rumah saya beberapa kali didatangi emak-emak eks-HTI sambil menggendong anak-anak kecilnya dan membawa buletin HTI.
Tentu membawa anak kecil bukan sekedar sebatas momong anak, tapi bisa menjadi sebentuk kamuflase dan bisa dimaksudkan agar muncul sentuhan emosional yang berguna dalam upaya pendekatan dan perekrutan. Si emak HTI secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa mempunyai momongan kecil tidak menjadi halangan untuk “dakwah” mendirikan khilafah.
Tentu awalnya mereka tidak bicara khilafah, tapi bicara ajaran Islam secara umum, baru pada kunjungan kesekian kalinya akan masuk ke masalah khilafah.
Tidak hanya sabar dan telaten, emak-emak ini lebih militan dan tidak pandang bulu. Buktinya, baru saja suami saya dapat cerita dari teman akrabnya, seorang perwira polisi. Sang polisi berkisah, beberapa waktu lalu berdebat dengan grup medsos keluarga. Si emak yang sepupu ini mulai kasar dengan menjelekkan pemerintah, polisi, ulama dan ujungnya khilafah.
Tentu polisi yang masih aktif ini tidak terima, akhirnya ramai. Hanya saja sang ibu polisi ini menjaga perasaan keluarga besar, akhirnya menyuruh sang polisi agar keluar grup. Bagaimana lagi yang menyuruh ibu, ya sang perwira taat.
Kelebihan lain dari perempuan yang tidak disadari adalah pada umumnya kalau sudah berumah tangga perempuan adalah ratu yang mempunyai daya pengaruh lebih kuat. Suami bisa “takluk” atau minimal, tidak menentang gagasan yang dibawa istri. Maka akan bahaya bila gagasan yang dibawa istri adalah anti Pancasila, anti NKRI dan pro khilafah. Lebih berbahaya lagi bila suaminya adalah tokoh masyarkat atau aparat yang menduduki jabatan tinggi di NKRI.
Terakhir, perempuan kalau sudah berorganisasi akan lebih solid dan sulit ditundukkan. Apalagi organisasinya adalah keagamaan. Bukti paling nyata adalah dalam pemilihan gubernur Jawa Timur. Peran wanita dari Muslimat NU sangat besar dalam memenangkan Khofifah Indar Parawansa, demikian juga dalam pemilihan bupati Jombang, peran wanita dari Muslimat NU tidak bisa diabaikan dalam menjadikan Bu Nyai Mundjidah Wahab sebagai bupati. Mereka lebih kebal money politic. Realitas demikian juga sangat disadari kelompok Islamis-radikal sehingga peta garapan mereka adalah perempuan, emak-emak yang kita. []