Mubadalah.id – Jika merujuk ayat al-Qur’an dan Hadis tentang perintah bekerja (amal dan kasab). Maka banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw yang menyapa laki-laki dan perempuan.
Bekerja untuk menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhan adalah karakter manusia. Ada perempuan yang bekerja dan menafkahi keluarga pada masa Nabi Saw. juga menjadi preseden yang tercatat dalam berbagai kitab Hadis maupun sejarah.
Dari Raithah r.a., istri Abdullah bin Mas’ud dan ibu anaknya, seorang perempuan yang bekerja dengan kerajinan tangan. Hasilnya untuk menafkahi suaminya dan anak-anaknya. Suatu saat dia berkata pada Abdullah bin Mas’ud r.a., sang suami:
“Kamu dan anakmu membuatku tidak bisa bersedekah (karena hasil kerjaku untuk kalian semua).”
“Aku juga tidak senang jika hal ini tidak membuatmu memperoleh pahala,” jawab suaminya.
Raithah mendatangi Rasulullah Saw. dan bertanya:
“Wahai Rasul, aku perempuan pekerja dengan membuat sesuatu dan menjualnya. Sementara tidak ada nafkah untuk (memenuhi kebutuhan) suami dan anak-anakku (kecuali dari hasil kerjaku). Mereka semua, karena itu, membuatku tidak bisa ikut bersedekah. Apakah aku memperoleh pahala dengan kerja dan nafkah yang aku berikan?.”
Rasulullah Saw. menjawabnya: “Ya, nafkahilah mereka dan kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka.” (Musnad Ahmad, no. 16334).
Memang lebih banyak perempuan yang mengasuh anak di rumah, dan lebih banyak laki-laki yang mencari nafkah di luar rumah.
Pembagian ini bisa jadi dimaksudkan agar tatanan keluarga menjadi harmonis dan saling berbagi dengan tanggung jawab.
Namun, ketika banyak kondisi sosial, yang menuntut perempuan untuk bekerja di luar rumah atau kondisi yang memaksa laki-laki tidak lagi memiliki kerja. Pembagian peran tersebut tidak lagi ideal dan harus diinterpretasikan ulang.
Pembagian peran yang statis telah melahirkan diskriminasi, misalnya mengasuh anak yang menjadi tanggung jawab perempuan tidak diapresiasi dibanding mencari nafkah yang menjadi tanggung jawab laki-laki. []