Mubadalah.id – Setiap kali pulang ke kampung halaman, ada rasa hangat yang selalu menyambutku: aroma masakan rumah, udara segar desa, dan ketenangan yang jarang ditemukan di kota. Namun kehangatan itu selalu disertai satu kegelisahan yang membuat aku sedih, yaitu fenomena perkawinan anak yang terus berulang, seolah menjadi tradisi yang dianggap lumrah dan tak perlu dipersoalkan.
Di tengah keasrian desa tempatku tumbuh, ada kenyataan pahit yang tak bisa kututup mata. Anak-anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah justru dipaksa masuk ke dunia rumah tangga.
Mereka sebetulnya belum matang secara fisik, belum stabil secara emosional, dan belum memiliki kapasitas mental untuk memikul tanggung jawab sebesar itu. Namun lingkungan tetap mendorong mereka menikah, seolah pernikahan adalah solusi cepat dalam mengatasi kemiskinan dan keterbatasan pendidikan.
Tidak sedikit keluarga melihat pernikahan sebagai jalan pintas. Sering kali terdengar anggapan, “Kalau menikah, bebannya pindah ke suaminya.”
Sebuah cara berpikir yang bukan hanya menyesatkan, tetapi juga merampas masa depan anak-anak perempuan. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya: perkawinan anak bukan solusi. Melainkan pintu masuk menuju persoalan yang lebih kompleks, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Ketika Pernikahan Berujung Kekerasan
Banyak orang lupa bahwa menikah bukan sekadar menyatukan dua keluarga, melainkan memberi tanggung jawab dan peran sosial yang besar. Anak yang dinikahkan di bawah umur belum siap mengelola konflik, memahami hak-haknya, atau membuat keputusan penting dalam hidupnya. Ketidakdewasaan ini membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan.
Hal ini lah yang dialami oleh tetanggaku, ia dpaksa menikah pada usia 17 tahun dengan laki-laki berusia 25 tahun. Sejak itu, ia jarang terlihat di luar rumah. Suaminya melarangnya keluar, memaksanya mengurus seluruh pekerjaan domestik, dan menggunakan kekerasan fisik setiap kali ia dianggap tidak patuh.
Pandangan patriarkis suaminya mengurung ia dalam lingkaran kekerasan yang dianggapnya “normal” karena ia tidak tahu bentuk relasi yang sehat.
Di kampung, kisah tetanggaku ini bukan yang pertama dan bukan yang terakhir. Ketimpangan usia, kuasa, dan ekonomi membuat anak perempuan dalam perkawinan muda cenderung tidak berdaya.
Lebih menyedihkan lagi, banyak perempuan tumbuh dengan keyakinan bahwa ketika suaminya memukul istri adalah bagian wajar dari rumah tangga. Ketidaktahuan ini bukanlah kesalahan mereka; ini adalah hasil dari sistem yang tidak memberi ruang bagi perempuan untuk memahami hak-haknya.
Data nasional menguatkan realitas kejam ini. Komnas Perempuan mencatat 330.097 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2024. KemenPPPA pada Oktober 2025 melaporkan 25.180 kasus kekerasan, dengan 14.795 kasus terjadi dalam rumah tangga. Jika perempuan dewasa saja rentan mengalami KDRT, bagaimana dengan anak yang bahkan belum selesai tumbuh?
Hilangnya Masa Depan
Akar persoalan perkawinan anak tidak bisa dilepaskan dari terbatasnya akses pendidikan. Pendidikan bagi sebagian masyarakat dianggap tidak bermanfaat jika diberikan kepada anak perempuan.
Akibatnya, ketika perempuan yang menikah di usi anak, hal pertama yang hilang adalah pendidikan: sekolah terhenti, mimpi terputus, masa depan gelap sejak awal.
Padahal pendidikan bukan sekadar tiket mencari pekerjaan. Pendidikan membekali anak dengan kemampuan memahami risiko, melindungi diri dari kekerasan, meningkatkan kepercayaan diri, dan membangun kemandirian. Tanpa pendidikan, anak perempuan kehilangan suara dan daya tawarnya dalam struktur sosial.
Negara sebenarnya telah mengambil langkah penting dengan revisi UU Perkawinan melalui UU No. 16 Tahun 2019 yang menetapkan usia minimal menikah adalah 19 tahun.
Namun regulasi tanpa perubahan pola pikir masyarakat tetap tidak cukup, peraturan ini mudah dilanggar melalui dispensasi nikah yang masih kerap dikeluarkan oleh pengadilan.
Kenyataannya, banyak keluarga menganggap undang-undang hanya formalitas. Tradisi, adat, tekanan sosial, dan kekhawatiran ekonomi lebih kita dengar daripada risiko jangka panjang perkawinan anak. Inilah celah yang membuat praktik perkawinan anak masih bertahan sampai hari ini.
Upaya pencegahan membutuhkan kolaborasi antara orang tua, guru, tokoh agama, pemerintah desa, tenaga kesehatan, hingga anak muda sendiri harus terlibat.
Pasalnya, perubahan tidak bisa hanya datang dari atas, ia harus tumbuh dari bawah, dari desa, dari rumah, dari kesadaran kolektif bahwa anak bukan alat penyelamat ekonomi keluarga.
Anak di Desa
Anak-anak di desa berhak menjalani hidup sebagaimana mestinya, belajar, bermain, mengejar cita-cita, dan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.
Bahkan, mereka berhak atas ruang aman, bukan dipaksa dewasa sebelum waktunya. Juga, mereka berhak memiliki masa depan, bukan dikorbankan atas nama “menjaga kehormatan keluarga” atau “mengurangi beban hidup.”
Setiap kali aku pulang kampung, aku berharap melihat perubahan kecil yaitu satu anak perempuan yang tetap sekolah, satu keluarga yang membatalkan pernikahan anak, satu desa yang mulai sadar, satu tokoh masyarakat yang berani bersuara. Perubahan besar selalu bisa kita mulai dari langkah kecil.
Karena pada akhirnya, setiap anak berhak bahagia, bersekolah, tumbuh, dan menemukan hidupnya sendiri tanpa tekanan untuk memikul beban yang bukan miliknya. []












































