Mubadalah.id – Perempuan-perempuan yang dinikahkan di usia muda rentan terhadap kekerasan. Kekerasan tersebut bermula sejak ia akan dinikahkan dengan cara pemaksaan, hingga berlanjut ke dalam rumah tangga setelah menikah.
Kekerasan tersebut tidak hanya bersifat fisik melainkan juga kekerasan psikis. Seperti yang bunga (nama samaran) alami. Mereka bekerja di sawah seharian sebagai buruh kasar, padahal suami mampu membayar buruh tani harian.
Di samping itu, istri masih di bebani pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga yang harus menyapu, memasak dan mencuci. Ada juga istri yang suami larang untuk beraktivitas di luar rumah (publik) meski hanya pada tingkat kampung.
Di samping itu, perkawinan anak rentan terhadap terjadinya perceraian. Seperti yang Melati dan Bintang (nama samaran) alami. Mereka pernah mengalami kegagalan dalam berumah tangga:
Penyebab perceraian beragam, mulai dari tidak adanya rasa “suka” sebelum menikah tapi ada paksaan dari orangtua untuk menikah. Hingga bermain “cinta” dengan lelaki lain karena sudah tidak mencintai suami sendiri.
Ketidaksiapan dalam berumah tangga pada pihak perempuan menjadi penyebab retaknya mahligai rumah tangga. Padahal, anak perempuan yang bercerai itu sudah memiliki dua buah hati hasil pernikahan dengan suami pertama.
Imbas Perkawinan Anak
Jika hal itu terjadi, tidak hanya perempuan (istri) yang menjadi korban. Tapi anak-anak sebagai tunas-tunas generasi yang akan datang juga terkena imbas dari perkawinan anak.
Demikian juga seperti dialami oleh Bulan (nama samaran), setelah bercerai, dua anaknya diasuh oleh nenek masing-masing anak (nenek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah), ibu sang anak (anak perempuan yang bercerai) belum mampu mencukupi kebutuhan anakanaknya sendiri karena tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafakah.
Menurut hasil penelitian Plan Indonesia, sebanyak 444 anak perempuan yang menikah di usia anak mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi, dan 564 mengalami KDRT dengan frekuensi rendah.
Hal itu karena belum siapnya perempuan secara mental dan ekonomi. Tetapi, karena mereka mendapat tuntutan oleh kebutuhan untuk menyekolahkan anak-anak dan kebutuhan ekonomi lainnya. Maka dengan terpaksa perempuan (janda) bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Menurut Alawiyah, Rektor Universitas Wiraraja Sumenep, karena minimnya pengalaman dan minimnya tingkat pendidikan, saat mencoba bekerja seringkali dimanfaatkan oleh beberapa oknum dan pihak, sehingga ia masuk ke perangkap “perdagangan manusia” []