Mubadalah.id – Secara etimologis syahadah (kesaksian) berarti berita pasti. Musyahadah berarti sesuatu yang nyata, karena saksi adalah orang yang menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak mengetahuinya. Dalam istilah fikih, kesaksian adalah seseorang yang memberitahukan secara benar atas apa yang kita lihat dan dengar.
Pembicaraan tentang kesaksian perempuan dalam fikih pada umumnya cenderung merujuk pada ayat tentang kesaksian perempuan dalam pencatatan hutang piutang (QS. Al-Baqarah, 2: 282) dan hadits tentang kekurangan akal perempuan.
Sementara ayat yang menyetarakan atau minimal tidak mempermasalahkan laki-laki dan perempuan kurang muncul. Bahkan terhadap ayat-ayat kesaksian dalam redaksi yang zahirnya tidak mempermasalahkan gender pun pada umumnya hanya untuk laki-laki.
Bisa kita pastikan kesimpulan yang hasil kemudian adalah produk-produk fiqh yang cenderung tidak memberikan nilai dan kesempatan berpartisipasi yang sama kepada perempuan dalam memberikan kesaksian.
Dalam literatur fikih kecenderungan itu bisa kita lihat. Misalnya dalam soal ruang kesaksian. Ibnu Munzir mengatakan bahwa jumhur ulama mengkhususkan kesaksian dua perempuan bersama seorang laki-laki hanya berlaku dalam hal hutang dan harta benda.
Sementara dalam hal hudud dan qishash kesaksian perempuan bersama laki-laki tidak dapat diterima. Dengan kata lain hanya laki-laki yang diterima kesaksiannya.
Kesaksian dua orang perempuan diperbolehkan untuk perkara-perkara yang tidak dapat diketahui oleh orang laki-laki, seperti masalah haid, proses kelahiran, dan rahasia-rahasia perempuan.
Meskipun perempuan diterima kesaksiannya dalam hal-hal yang tidak diketahui laki-laki, jumhur ulama ternyata masih memperselisihkan kesaksian perempuan seorang diri dalam hal ini.
Mayoritas ulama tidak membolehkan kesaksian perempuan seorang diri. Mereka mengharuskan hadirnya empat orang saksi perempuan.
Pendapat Imam Malik
Pendapat yang sedikit lunak datang dari Imam Malik dan Ibnu Abi Laila yang menganggap kesaksian dua orang perempuan dalam hal yang tidak diketahui laki-laki cukup dan bisa diterima.
Melihat pendapat jumhur ini kita bisa mengatakan bahwa betapa sempitnya ruang yang kepada perempuan hanya untuk memberikan kesaksian yang notabene adalah menyuarakan kebenaran. Yang lebih menyedihkan, hukum-hukum itu membangunnya di atas asumsi-asumsi yang misoginis.
Kalangan ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah seperti dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili beralasan bahwa tidak diterimanya kesaksian perempuan dikarenakan dominannya emosi perempuan, kurang akuratnya perempuan melihat persoalan, dan terbatasnya penguasaan perempuan atas berbagai persoalan.
Hampir senada dengan itu Abu Ubaid berpendapat bahwa kesaksian perempuan dalam hudud tidak mereka terima. Alasannya, karena perempuan tidak berhak mengambil keputusan atau memberikan jalan keluar dalam soal itu. []