• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Persoalan Gender dalam Fiqh Kesaksian

Dengan demikian alasan kurang akal, emosional dan sebagainya yang dilabelkan pada perempuan tanpa kecuali itu secara de facto tidak bisa kita buktikan kebenarannya.

Redaksi Redaksi
31/08/2024
in Hikmah, Pernak-pernik
0
Fiqh Kesaksian

Fiqh Kesaksian

680
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Secara etimologis syahadah (kesaksian) berarti berita pasti. Musyahadah berarti sesuatu yang nyata, karena saksi adalah orang yang menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak mengetahuinya. Dalam istilah fiqh, kesaksian adalah seseorang yang memberitahukan secara benar atas apa yang dilihat dan didengarnya.

Pembicaraan tentang kesaksian perempuan dalam fiqh pada umumnya cenderung merujuk pada ayat tentang kesaksian perempuan dalam pencatatan hutang piutang (QS. Al-Baqarah, 2: 282) dan hadits tentang kekurangan akal perempuan sebagaimana disebutkan di atas.

Sementara ayat yang menyetarakan atau minimal tidak mempermasalahkan laki-laki dan perempuan kurang dimunculkan. Bahkan terhadap ayat-ayat kesaksian yang dinyatakan dalam redaksi yang zahirnya tidak mempermasalahkan gender pun pada umumnya dibatasi hanya untuk laki-laki.

Bisa kita pastikan kesimpulan yang ia hasilkan kemudian adalah produk-produk fiqh yang cenderung tidak memberikan nilai dan kesempatan berpartisipasi yang sama kepada perempuan dalam memberikan kesaksian.

Dalam literatur fiqh kecenderungan itu bisa kita lihat. Misalnya dalam soal ruang kesaksian. Ibnu Munzir mengatakan bahwa jumhur ulama mengkhususkan kesaksian dua perempuan bersama seorang laki-laki hanya berlaku dalam hal hutang dan harta benda.

Baca Juga:

Membongkar Bias: Mengapa Kesaksian Perempuan Selalu Diragukan?

Persoalan Gender dalam Fikih Kesaksian

Tafsir Ulang Hadits Kesaksian Perempuan

Menimbang Ulang Kesaksian Perempuan: Antara Teks dan Konteks

Hudud

Sementara dalam hal hudud dan qishash kesaksian perempuan bersama laki-laki tidak dapat diterima. Dengan kata lain hanya laki-laki yang diterima kesaksiannya. Kesaksian dua orang perempuan diperbolehkan untuk perkara-perkara yang tidak dapat diketahui oleh orang laki-laki, seperti masalah haidh, proses kelahiran, dan rahasia-rahasia perempuan.

Meskipun perempuan mereka terima kesaksiannya dalam hal-hal yang tidak laki-laki ketahui, jumhur ulama ternyata masih memperselisihkan kesaksian perempuan seorang diri dalam hal ini. Mayoritas ulama tidak membolehkan kesaksian perempuan seorang diri. Mereka mengharuskan hadirnya empat orang saksi perempuan.

Pendapat yang sedikit lunak datang dari Imam Malik dan Ibnu Abi Laila yang menganggap kesaksian dua orang perempuan dalam hal yang tidak diketahui laki-laki cukup dan bisa diterima.

Melihat pendapat jumhur ini kita bisa mengatakan bahwa betapa sempitnya ruang yang mereka berikan kepada perempuan hanya untuk memberikan kesaksian yang notabene adalah menyuarakan kebenaran. Yang lebih menyedihkan, hukum-hukum itu mereka bangun di atas asumsi-asumsi yang misoginis.

Kalangan ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah- seperti dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili beralasan bahwa tidak diterimanya kesaksian perempuan dikarenakan dominannya emosi perempuan. Termasuk kurang akuratnya perempuan melihat persoalan, dan terbatasnya penguasaan perempuan atas berbagai persoalan.

Hampir senada dengan itu Abu Ubaid berpendapat bahwa kesaksian perempuan dalam hudud tidak bisa menerima. Alasannya, karena perempuan tidak berhak mengambil keputusan atau memberikan jalan keluar dalam soal itu.

Asumsi

Asumsi-asumsi seperti ini tidak hanya dikemukakan oleh fuqaha masa lalu. Dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Dr. Wahbah Az-Zuhaili kembali menegaskan asumsi-asumsi misoginis yang tidak jauh berbeda dengan kecenderungan fiqh konvensional.

Ia, misalnya, mengatakan bahwa kesaksian dua orang perempuan yang sebanding dengan kesaksian seorang laki-laki. Hal ini karena kurang akuratnya perempuan dan ia banyak lupa.

Demikianlah, asumsi-asumsi misoginis itu telah secara apriori yang menjadi alasan rendahnya nilai kesaksian perempuan. Kita sebut apriori karena dalam kenyataan label kurang akal, emosional. Atau tidak akurat yang menjadi alat pembatasan kesaksian itu tidak sepenuhnya bisa ia buktikan.

Kenyataannya, label-label yang menjadi alasan itu tidak melekat pada setiap perempuan. Banyak perempuan yang lebih berakal dan kuat ingatan daripada laki-laki. Sebaliknya banyak pula laki-laki yang lebih emosional dan pelupa dari perempuan.

Dengan demikian alasan kurang akal, emosional dan sebagainya yang orang labelkan pada perempuan tanpa kecuali itu secara de facto tidak bisa kita buktikan kebenarannya.

Dengan kata lain alasan-alasan yang selama ini begitu dibakukan itu hanya didasarkan pada asumsi yang bersifat apriori. Bahkan tidak mencerminkan kondisi seluruh perempuan yang sesungguhnya. []

Tags: fiqhGenderKesaksianPersoalan
Redaksi

Redaksi

Terkait Posts

Bersyukur

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

19 Mei 2025
Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version