Mubadalah.id – Alkisah ada sepasang kekasih yang menikah lalu melahirkan seorang Putra. Betapa bahagianya memiliki anak pertama berjenis kelamin laki-laki. Meski zaman sudah maju dan modern, pendapat bahwa melahirkan anak pertama laki-laki adalah berkah karunia terbesar: merupakan pencapaian tertinggi seorang suami, dan kebanggaan bagi istri.
Persis seperti Raja zaman dulu yang merasa beban takhta-nya telah terangkat jika permaisurinya melahirkan Putra, yang tentu saja akan menjadi Putra mahkota. Tugas sebagai istripun rasanya purna, tak ada dilema dan posisinya akan aman. Tidak perlu merasa terancam jika ada selir yang melahirkan putra untuk Raja, karena meminimalisir perang saudara.
Impian Memiliki Bayi Perempuan
Lana, perempuan itu, kini sedang mengandung anak kedua. Ingin sekali ia punya anak perempuan, karena setelah laki-laki, mereka ingin punya anak perempuan. Karena menurut keyakinan suami-istri tersebut, anak perempuan kelak mau dan mampu merawat bapak-ibunya.
Meski anak laki-laki memiliki ibunya sepenuhnya, namun belum tentu menantu perempuan mau merawat mertua, dengan cinta kasih sebagaimana anak perempuan kandung. Maka setelah memiliki putra, mereka ingin memiliki putri. Demikian harapan yang terpatri secara mendalam di benak Lana dan Rey, suaminya.
Kelahiran yang Tak Diinginkan
Lana dan Rey, melakukan segala cara agar anaknya yang kedua lahir perempuan. Mereka melakukan program dari dokter terkenal di sebuah rumah sakit, sampai datang ke rumah “orang pintar”, minta doa dan jampi. Bukan hanya itu, mereka juga pergi ke para Kiai dan Habaib meminta doa agar dikaruniai anak sesuai keinginannya. Para Kiai mendoakan namun menasehati, apapun jenis kelaminnya, harus disyukuri asal bayi dan ibu sehat selamat.
Tentu Lana dan Rey setuju, kesehatan dan keselamatan itu yang utama. Namun di pedalaman batin, mereka tetap menginginkan anak perempuan. Segala upaya mereka lakukan. Namun sekeras apapun manusia berusaha, Tuhan kadang punya rencana yang berbeda.
Dan kadang, jika kita mengejar sesuatu terlalu keras, maka sesuatu itu justru menjauh, bahkan menghilang. Hal inipun menimpa pasangan suami-istri itu. Lana kemudian melahirkan anak laki-laki, bukan cuma satu, namun kembar. Mereka bernama Dewandra Senja dan Indra Pandya Wirasena. Keduanya sehat.
Dress dari Lana untuk Putera-puteranya
Namun kesedihan Lana tak bisa disembunyikan. Waktu itu belum ada USG, jadi jenis kelamin menjadi kejutan di momen persalinan. Selama kehamilan, ia sudah melakukan banyak usaha dan tirakat. Ia juga sudah membeli perlengkapan bayi perempuan, baju-baju hingga menghias kamar dengan warna pink, warna yang identik dengan bayi perempuan.
Ia sering membayangkan mendandani anak perempuannya, mengepang, dan mengatur rambutnya dengan aksesoris rambut. Juga mengenakannya dress-dress dengan renda dan rajutan cantik. Namun semuanya kandas.
Di bulan-bulan awal pengasuhan, Lana menolak mengurusi kedua bayinya, sehingga terpaksa mencari donor ASI. Setelah tiga bulan, barulah Lana mulai berdamai. Namun, ia kemudian tetap memakaikan pakaian perempuan pada kedua putra kembarnya. Sampai satu tahun, dan tahun berikutnya.
Dewa dan Indra dibelikan mainan boneka dengan karakter yang lucu-lucu berwarna pink, dan dibelikan pula mereka boneka Barbie, hingga alat-alat make-up sampai alat-alat masak.
Hingga lulus sekolah dasar, Dewa dan Indra lebih suka belajar masak dan macak ketimbang bermain sepak bola, mobil-mobilan, dan tembak-tembakan.
Tentang Cita-cita
“Alasanku masuk kedokteran karena aku ingin menyembuhkan manusia. Meski bukan jiwanya, aku berkompetensi menyembuhkan fisik mereka.” Dewa membuka obrolan setelah mengulurkan pancake dengan sirup maple kesukaan Ambara.
“Itu cita-cita yang bagus. Aku yakin kau akan menyembuhkan banyak orang dengan semua kecerdasan dan keahlianmu.” Ambara tertegun. Seorang pria dengan jiwa yang dianggap sakit karena tak jelas identitasnya, tetap punya cita-cita menolong sesama. Berkaca-kaca mata Ambara.
“Alasanku masuk Tata Busana semua karenamu. Kau peletak dasar mimpi-mimpiku, kau idolaku, inspirasiku.” Kata-kata Ambara meluncur dengan fasihnya seperti biasa.
“Seleramu memang aneh. Kau mengidolakan sampah masyarakat, Ambara!”
“Aku bukan bagian dari masyarakat itu.”
Dewa tersenyum. Adik kecilnya sudah dewasa sekarang. Dia sudah bisa bersikap, memilah-milah posisinya, meneguhkan eksistensinya, punya preferensi ingin masuk ke komunitas mana, menjadi bagian masyarakat yang seperti apa.
“Mau kubuatkan Spaghetti kesukaanmu?”
“Tentu.” Ambara mengiyakan saja meski sudah melahap dua piring pancake.
Laki-Laki, Masak, dan ‘Macak’
Ambara kaget dengan kemampuan memasak Dewa yang meningkat pesat dari teknik, pengetahuan bumbu, hingga menu yang bukan hanya sebatas masakan tradisional, Rendang dan Ayam Betutu, namun juga hidangan aneh dari Eropa. Dewa berkata bahwa ia telah mengikuti kursus masak sembari mengikuti summer course tahun lalu di Finlandia.
Katanya, laki-laki di Finlandia belajar memasak sudah menjadi hal umum. Memasak adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki laki-laki dan perempuan. Memasak adalah skill survival sebagai makhluk hidup yang netral gender. Ada atau tidaknya perempuan, laki-laki harus bisa memenuhi kebutuhan “makannya” sendiri.
Tidak perlu menjadi Raja yang menunggu dimasakkan makanan oleh orang lain. Ambara suka sekali dengan pemikiran itu. Di matanya, laki-laki yang bisa masak itu keren. Dewa membuatkan Spaghetti dengan topping Truffle. Jamur elit dengan harga selangit.
“Kemampuan memasakmu layak dipuji tapi kau menyukai jenis makanan mahal yang tidak enak. Lidah ndeso-ku tidak cocok dengan Truffle.” Ledek Ambara.
Ambara tidak sekedar meledek. Dia memang tidak menyukai rasa Truffle—dan juga Caviar. Disaat orang lain berlomba ingin sesering mungkin memakan hidangan elit itu, sekaligus memotret dan mengunggahnya ke media sosial. Ambara merasa bergidik. Ia memindahkan jamur Truffle ke piring Dewa. Dewa hanya menggelengkan kepala.
Setelah makan, Ambara melihat-lihat lemari pajangan di lantai dua rumah Dewa. Di rak meja belajar ruang itu, Ambara menemukan peralatan make-up dengan brand ternama. Menemukan pula sederet foto-foto dari kamera polaroid; foto hasil latihan make up dengan model dirinya sendiri. Apakah dia titisan Charlotte Tilbury? Batin Amabara. Terlalu keren untuk seorang otodidak misterius.
Identitas Sejak Kecil
Ambara ingat bagaimana Ibu Dewa membelikan putranya itu seperangkat alat rias, membiarkan putranya bereksperimen dengan bedak, lipstick, eyeshadow, eyeliner, blush on, dan lain sebagainya. Kemampuan merias Dewa jauh lebih baik dibanding Ambara yang baru belajar akhir-akhir ini saja karena tuntutan pekerjaan.
Di etalase lain, berjejer koleksi boneka Barbie dari era 1990an sampai masa kini. Dia benar-benar mengoleksi. Patung kecil Princess Disney juga lengkap. Baju-baju Barbie hasil jahitannya sendiri juga indah sekali menurut mata Ambara.
Di meja belajar, ada foto keluarga. Bude, Pakde, Zaddie (kakak Dewa), Dewa, dan almarhum Indra, saudara kembar Dewa. Zaddie sangat gagah, dia atlet beladiri, pemilik sabuk hitam Karate. Saat kecil Zaddie memang suka olah raga. Di saat Dewa bermain boneka dan masak-masakan, Zaddie mencoba menguasai semua cabang olahraga mulai dari sepak bola, bulu tangkis, lari, hingga tenis dan basket. Bahkan balapan motor. Zaddie hidup sebagaimana anak laki-laki sewajarnya hidup.
“Bukalah box di atas meja belajar, itu hadiah untukmu!” Ucap Dewa dari lantai satu.
Betapa senang Ambara mendapati cocktail dress berwarna Burgundi yang sangat Anggun. Ia bergegas mencobanya, dan pas sekali di tubuhnya.
“Kemampuan menjahitmu mengagumkan. Kau memiliki bakat yang aku dambakan.” Ucap Ambara masih dengan ketakjuban karena Dewa masih punya waktu menjahit baju di sela-sela kesibukannya menjadi mahasiswa kedokteran dan kegiatan aktivisnya.
Ambara kembali ingat, Bude-nya, Ibunda Dewa, adalah penjahit yang terkenal di kotanya. Dewa yang sedari kecil menyukai Barbie, sering membuat pakaian Barbie dengan mesin jahit di gallery Ibunya. Sedari SMP Dewa sudah bisa menjahit. Ambara juga sering membantu Budenya memasang kancing baju dan membantu memotong pola saat masih SD, sehingga saat SMA, Ambara sudah bisa membuat baju-baju untuk pesanan orang.
Arah Dalam Dilema
Dewa tak bisa melepaskan hal-hal yang sudah menjadi identitasnya sejak kecil. Ambara tak bisa menghakimi, tak bisa menyalahkan, dan tak bisa juga melakukan banyak hal. Ia hanya memahami dan mengerti dilema hidup Dewa; kebimbangan, kecemasan, dan ketakutan kakaknya itu. Bagi orang lain yang tak punya kenalan, tak pernah berinteraksi, tak pernah terhubung dengan orang seperti Dewa; menghakimi sangat mungkin terjadi.
Tidak mudah menjadi Dewa. Banyak hal yang berkelindan di pikirannya, banyak pertanyaan menguap ke udara. Haruskah ia mengikuti kecondongan jiwanya menjadi perempuan? Atau tetap menjadi laki-laki dengan perasaan perempuan? Lantas dia beribadah dan menjalani peran sosial dengan cara seperti apa dan bagaimana? Bolehkah ia jatuh cinta? Lantas cinta itu akan ia muarakan kepada siapa?
Tak ada aturan agama yang memfasilitasi dengan gamblang, konstruksi sosial juga menolaknya. Kebingungan, sepertinya akan menjadi kegelisahan abadi bagi Dewa. Tak bisa secara pasti ia akan menjadi siapa. Jati dirinya terbelah dua. Arah hidupnya berada dalam dilema; ke kanan jatuh, ke kiri runtuh. Sementara di hadapannya jalan penuh duri-duri siap berdarahkan kaki. []