Mubadalah.id – Persis di pertengahan surah Al Baqarah terdapat pesan yang teramat penting bagi umat Islam. Surah Al Baqarah yang terdiri dari 286 ayat membicarakan tentang Ummatan Wasathan pada ayat 143. Membicarakan tentang menjadi umat pertengahan tepat pada pertengahan surah. Secara struktural ayat hal itu merupakan sesuatu yang luar biasa, lebih-lebih tentu makna yang terkandung pada pesan untuk menjadi Ummatan Wasathan tersebut.
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’”, begitu isi surah Al Baqarah ayat 143. Menjadi umat pertengahan artinya menjadi umat yang adil, umat yang moderat, umat yang tidak ekstrem ke kiri atau ke kanan tetapi berada di tengah, umat yang tidak berat sebelah—hanya memikirkan akhirat tapi lupa pada tugasnya di dunia maupun sebaliknya, umat yang tidak mencintai sesuatu dengan berlebihan dan tidak pula membenci sesuatu dengan berlebihan, dan sebagainya. Begitu banyak hal yang mesti disikapi dengan adil oleh umat Islam.
Berupaya menjadi umat pertengahan yang adil dan moderat sangat penting bagi setiap umat Islam. Sebab jika seseorang tidak menjadi Ummatan Wasathan, pastilah hidupnya tidak akan seimbang. Hidupnya takkan ideal sebagaimana yang diperintahkan Al Quran kepadanya.
Sebagai contoh, seseorang yang terlalu condong mengejar akhirat dan lalai pada tugasnya di dunia hanya akan membawa kerugian, baik bagi dirinya ataupun orang lain.
Seperti dalam salah satu riwayat, Rasulullah ﷺ pernah didatangi tiga orang sahabat yang begitu ingin meniru Beliau yang amat kuat dalam beribadah. Oleh sebab itu, seorang berkeinginan untuk salat sepanjang malam penuh terus menerus, seorang lagi berkeinginan untuk selalu berpuasa, seseorang yang lain lagi berkeinginan untuk tidak menikah dan fokus beribadah. Mendengar hal itu, Rasulullah ﷺ menasihati mereka bahwa dirinya berpuasa dan juga berbuka, melaksanakan salat malam dan juga istirahat, serta menikah pula.
Kisah tersebut memberikan hikmah bahwa seseorang yang terlampau mementingkan bahkan memaksakan perkara akhirat hanya akan mendapat kerugian. Seorang yang ingin mendirikan salat malam terus tanpa henti hanya akan mendatangkan hal yang kurang baik bagi kesehatan dirinya sendiri karena tubuhnya punya hak untuk beristirahat.
Begitu pula yang hendak berpuasa terus menerus, padahal tubuhnya punya hak untuk makan dan minum agar kesehatannya terjaga. Sebab jika memaksakan untuk selalu beribadah sampai mengganggu kesehatan, tentu akan merugikan dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Begitu juga sebaliknya, seseorang yang mengerjakan perkara dunia semata sehingga meninggalkan urusan akhiratnya pastilah akan merugi. Mereka yang teramat bernafsu bekerja untuk mengumpulkan harta dan mendapatkan jabatan sampai lalai beribadah—tidak melaksanakan salat akibat fokus bekerja saja dan tidak menyempatkan waktu untuk mengaji misalnya, hanya akan menuai kesia-siaan di dunia terlebih di akhirat.
Maka, hendaknya setiap Muslim menjadi umat pertengahan dalam urusan dunia dan akhirat. Melaksanakan tugasnya di dunia untuk sukses di akhirat, mengejar akhirat dengan sukses di dunia. Mengerjakan perkara dunia dan akhirat dengan secukupnya dan semampunya tanpa melalaikan salah satunya.
Contoh lain untuk menjadi Ummatan Wasathan ialah dengan tidak fanatik terhadap golongan, suatu aliran pemikiran, maupun tokoh-tokoh tertentu. Ini penting dalam kehidupan umat Islam hari-hari ini. Banyak orang yang begitu ekstrem berada di satu pihak. Teramat mencintai pihaknya dan teramat membenci pihak lain.
Jika seperti itu, maka akhirnya semua yang tidak sama dengannya—tidak ada di pihaknya, akan dianggap salah. Orang yang tidak menerima perbedaan seperti itu, tidaklah termasuk Ummatan Wasathan karena menjadi seorang yang moderat ialah mau menerima perbedaan yang ada. Toh perbedaan adalah keniscayaan.
Jangan sampai perbedaan menimbulkan perpecahan. Untuk itulah perlunya seorang Muslim bersikap adil dan moderat, berada di tengah dari dua kutub perbedaan. Menghargai perbedaan, menghormati pihak yang berbeda, dan bersikap mengutamakan perdamaian.
Salah satu kunci untuk menghargai perbedaan adalah ingatlah nasihat Imam Syafi’i berikut ini, “Pendapatku benar, namun mengandung kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain salah, namun mengandung kemungkinan benar.” Itulah sikap Ummatan Wasathan.
Hendaklah pula diketahui bahwa bisa jadi apa yang tidak disukai hari ini akan menjadi yang dicintai di kemudian hari dan yang disukai hari ini barangkali menjadi hal yang dibenci suatu hari nanti.
Ada banyak contoh lain sikap Ummatan Wasathan. Tidak boros dan tidak pelit tetapi dermawan, tidak ceroboh dan tidak penakut tetapi pemberani dan penuh pertimbangan, dan sebagainya. Demikian banyak hal dalam kehidupan ini yang mesti disikapi dengan adil dan begitu pentingnya umat Muslim menjadi umat yang moderat, Ummatan Wasathan. []