Mubadalah.id – Belakangan, nama pesantren kembali ramai di pemberitaan. Tagar #JagaPesantren menggaung di media sosial, setelah sebuah video pendek di stasiun televisi nasional menarasikan kehidupan kiai secara negatif. sebagian publik dari kalangan santri merasa marah karena pesantren tergambarkan semena-mena, sementara sebagian lain justru menganggapnya sebagai potret nyata problem di lembaga pendidikan keagamaan.
Perdebatan pun meluas. Kasus pelecehan oleh oknum, kerja bakti yang dianggap eksploitasi, hingga adab dan salam tempel yang tertuding sebagai praktik penindasan atau pungli berkedok religiusitas, kembali terungkit. Dalam sorotan tajam warganet, pesantren seolah kehilangan wajah teduhnya, akibatnya sebagian besar lembaga yang memakai label “pondok” menjadi bulan-bulanan di ruang sidang publik yang tak kenal ampun.
Antara Ekspektasi Moral dan Realitas Manusiawi
Saya bisa memahami keresahan itu. Di tengah banyaknya lembaga pendidikan yang mengaku berbasis agama, wajar jika publik menaruh ekspektasi moral yang tinggi, bahkan menuntut transparansi dan akuntabilitas. Namun perlu kita ingat, pesantren juga lembaga pendidikan yang terkelola oleh manusia, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Pesantren bukan ruang suci tanpa celah, melainkan ruang belajar yang terus belajar berkembang sekaligus mempertahankan ideologinya.
Yang nampaknya luput terpahami publik, pesantren itu sangat beragam. Ada pesantren yang menjaga nilai-nilai tradisional dan kesederhanaan, ada yang modern dengan fasilitas lengkap dan sistem manajemen profesional. Ada yang fokus pada hafalan Al-Qur’an, ada pula yang membuka diri pada wacana kesetaraan gender, lingkungan, dan isu-isu sosial mutakhir. Jadi ketika kita berbicara tentang pesantren, kita sedang berbicara tentang satu ekosistem luas dengan karakter yang tak bisa diseragamkan.
Ruang Proses, Bukan Pabrik Karakter
Pesantren adalah lembaga pendidikan, tempat belajar, tempat manusia berproses. Bukan pabrik karakter yang bisa mengubah santri menjadi teladan dalam hitungan minggu. Seperti halnya sekolah atau kampus, pesantren diisi manusia, guru yang bisa lelah, santri yang bisa salah, dan sistem yang terus berproses menjadi lebih baik.
Setiap pesantren punya profil alumninya tersendiri dengan berbagai pendekatan dan metode yang dilangsungkan dalam pendidikannya. Maka kalau kita berharap pesantren mencetak malaikat, barangkali kita sedang salah alamat.
Lalu apa yang mebedakan pesantren tradisional dengan lembaga lain pada umumnya? Jawabannya adalah Nilai-nilai luhur yang menjadi tradisi sekaligus aji bagi santri-santri, seperti adab, tawadhu’, dan khidmah: menghormati ilmu, merendahkan hati, melatih keikhlasan.
Tapi nilai-nilai ini bisa berubah makna jika kehilangan konteksnya. Adab bisa menjelma penundukan, tawadhu’ bisa bergeser jadi ketakutan, dan khidmah bisa berubah jadi eksploitasi. Maka, yang perlu disadari bukanlah apakah adab masih relevan, tapi bagaimana kita memastikan adab tetap berpihak pada kemanusiaan.
Saya sering mendengar orang tua yang berkata, “Saya ingin anak saya mondok biar jadi anak baik.” Harapan itu wajar, tapi jangan di-imani mentah-mentah. Pesantren bukan tempat ajaib yang bisa menebus kekosongan pendidikan di rumah. Ia bukan institusi suci yang bebas dari kesalahan, melainkan ruang belajar yang sama manusianya dengan sekolah-sekolah lain.
Di sisi lain, pesantren juga punya banyak wajah dan “pangsa pasarnya” sendiri. Beberapa keluarga yang memilih pesantren salaf karena ingin anaknya tumbuh dalam kesederhanaan dan ketekunan mengaji. Ada yang memilih pesantren modern agar anaknya fasih berbahasa asing dan disiplin. Ada yang memilih pesantren vokasi agar anaknya punya keterampilan hidup. Bahkan kini ada pesantren inklusif yang memberi ruang bagi anak-anak difabel dan dialog lintas iman.
Maka dari itu pesantren tidak bisa kita nilai secara tunggal sehingga pertanyaannya bukan lagi, “Pesantrennya baik atau buruk?”, tapi “Pesantren yang seperti apa yang sesuai dengan nilai dan visi keluarga kita?”
Saatnya menjadi terbuka dan inklusif
Sebagai lembaga yang lahir dari tradisi spiritual, pesantren memang punya beban moral yang lebih berat. Tapi justru karena itulah ia harus paling terbuka terhadap kritik. Membela pesantren bukan berarti menutup mata dari kekurangannya. Kecintaan sejati justru tampak dari kesediaan untuk berbenah: memperkuat sistem perlindungan santri, memperbaiki tata kelola, dan memperluas pemahaman tentang adab yang selaras dengan keadilan.
Sinergi Rumah, Pesantren, dan Masyarakat
Sudah saatnya pesantren tidak alergi terhadap koreksi. Kritik publik bukan ancaman, tapi cermin. Sebab dalam banyak hal, pesantren bukan hanya mendidik santri, tapi juga sedang belajar menjadi lembaga yang lebih matang, lebih transparan, dan lebih berpihak pada kemanusiaan.
Begitu pula masyarakat, terutama para orang tua. Pesantren bukan tempat penitipan nilai. Karakter tidak bisa dibentuk tanpa keterlibatan batin orang tua. Sebagus apa pun sistem pendidikan, tanpa rumah yang menanamkan kasih, anak akan kehilangan arah.
Kalau kita mau mencari kesalahan, pesantren tentu akan punya celahnya. Tapi daripada ribut mencari siapa yang salah, bagaimana jika kita bersama-sama menciptakan lingkungan terbaik untuk anak-anak kita tumbuh. Berkolaborasi dan membersamai. Bukan dengan menyerahkan sepenuhnya ke pesantren, tapi dengan ikut menemani prosesnya.
Pesantren tak bisa berjalan sendiri, sebagaimana rumah juga tak bisa mendidik sendirian. Keduanya saling membutuhkan: rumah yang hangat, dan lembaga yang aman. Masyarakat yang kritis, dan pesantren yang mau berbenah.
Dan tak lupa, Semua pihak harus mengambil perannannya masing-masing, niscaya pendidikan kita akan jauh lebih harmonis daripada sekadar berita-berita muram yang berseliweran di linimasa. []

 
			



































 
					
					




