Mubadalah.id – Saat ini media kita sedang dihebohkan dengan proses pengangkatan pegawai KPK menjadi calon ASN. Sebanyak 75 pegawai KPK diberhentikan karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Pegawai yang tidak lolos ini rata-rata sudah bekerja di KPK lebih dari 10 tahun, dan memiliki pengalaman yang luar biasa dalam penindakan koruptor. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh penguji saat Tes Wawasan Kebangsaan juga tak lolos dari kritikan media. Salah satunya adalah pertanyaan yang diajukan kepada Tata Khoiriyah, salah satu mantan pegawai humas KPK. Ia diminta untuk memilih antara al-Quran ataukah Pancasila sebagai dasar hidupnya.
Bertepatan dengan bulan Lahir Pancasila, tampaknya pertanyaan tersebut harus dianalisis menggunakan kajian yang komprehensif, tentang bagaimana seharausnya kita sebagai muslim menyikapi dasar negara Pancasila.
Diskursus Politik Indonesia dalam Perumusan Pancasila
Meningkatnya religius sentimen di Indonesia akan lebih baik jika diiringi dengan meningkatnya rasa nasionalisme. Sehingga tidak ada lagi masyarakat ataupun tokoh masyarakat yang membandingkan antara konsep kenegaraan dengan konsep al-Quran. Seolah keduanya adalah dua entitas yang berbeda sehingga muslim Indonesia harus memilih salah satu dari keduanya.
Bukan hal baru, perdebatan serupa juga terjadi saat negara ini menentukan dasar ideologi negara pasca kemerdekaan. BPUKPI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tak mampu meredam perdebatan antara golongan nasionalis sekuler dan nasionalis agamis selama perumusan Pancasila.
Golongan nasionalis menghendaki nilai kebangsaan sebagai dasar negara, sedangkan golongan nasionalis agamis menghendaki syariat Islam sebagai dasar negara. Perdebatan tersebut pada akhirnya menemukan jalan tengah dengan dibentuknya Panitia Sembilan. Hasil kerja Panitia Sembilan melahirkan Piagam Jakarta sebagai konsensus yang dianggap sebagai jalan tengah antara keinginan satu dengan yang lainnya.
Dalam Piagam Jakarta memang terdapat diksi yang meng-previlage-kan muslim. Tepatnya dalam diksi “dan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Maka serangan berbasis kesukuan dan keagamaan banyak bermunculan setelahnya. Seperti Latuharhary yang mewakili golongan Kristen dari Maluku, dan Wongsonegoro dan Husein Djayadiningrat yang mempunyai latar belakang Aristokrasi tradisional Jawa.
Anak kalimat dari sila pertama dalam Piagam Jakarta dikhawatirkan menimbulkan fanatisme dan justru berpotensi memecah belah bangsa. Dan muncul kekhawatiran bahwa klausul Islami berpotensi untuk mendiskirminasi minoritas. Perdebatan ini berlangsung lama, dan belum juga menemukan titik temu.
Hingga pada akhirnya, pasca proklamasi disepakati untuk menggunakan diksi Ketuhanan Yang maha Esa sebagai pengganti “Negara berdasarkan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Dan menyepakati bahwa ajaran agama Islam diakomodir dalam dasar negara, walaupun klausul Islam tidak disebut secara eksplisit. Apapun nama yang disepakati yang terpenting adalah ajaran Islam terakomodir secara substansial.
Dengan penggunaan diksi tersebut pada sila pertama diharapkan rakyat Indonesia menjadi masyarakat yang religius. Menyembah Tuhannya sesuai dengan prinsip ajaran agama masing-masing yang mengajarkan kebaikan, kedamaian, dan ketentraman. Menghormati kebebasan beribadah antara satu agama dengan yang lainnya.
Kesepakatan tersebut tak akan menemukan titik temu jika tidak disertai dengan jiwa besar para tokoh nasionalis agamis yang menerima Pancasila tanpa ada klausul Islam sebagai dasar negara. Kesadaran bahwa kepentingan dan keutuhan bangsa dan negara harus diutamakan pada akhirnya menjadi kesepakatan yang disetujui bersama.
Banyak pelajaran besar yang telah dicontohkan oleh pendiri bangsa Indoensia. Bahwa kepentingan golongan dan kelompok harus diletakkan dibawah kepentingan bersama. Persatuan dan kesatuan bangsa harus dinomorsatukan, menerapkan Islam yang substansif lebih penting daripada Islam normatif. Kebebasan beragama adalah milik semua bangsa, dan berhak untuk mengekpresikan nilai-nilai ajaran agamanya dalam bernegara.
Perlukah dipertentangkan kembali setelah 76 tahun lalu disepakati?
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, kenapa perdebatan eksistensi Pancasila dan agama dihidupkan kembali setelah mengalami perdebatan panjang sebelum kemerdekaan?
Mengajukan pilihan antara Pancasila dan al-Quran apalagi dalam proses seleksi calon Aparatur Sipil Negara tentunya tidak elok, karena keduanya adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pancasila adalah turunan dari ajaran agama Islam yang terkandung dalam al-Quran. Meletakkan keduanya sebagai sesuatu yang bersifat opsional seolah meletakkannya dalam posisi antagonistik.
Sebagaimana pernyataan Natsir bahwa pancasila dengan Islam tidak dapat dipertentangkan. Antara satu dengan yang lainnya tidak apriori bertentangan meskipun tak pula identik. Justru di tanah dan iklim Islamlah, Pancasila akan tumbuh subur. Dan Pancasila akan tumbuh berjaya di bawah naungan Islam.
Jika yang dicari adalah kesesuaian antar teks tentunya selamanya tidak akan didapati kesamaan, karena al-Quran adalah teks yang bersumber dari Allah SWT, sedangkan Pancasila adalah hasil dari ijtihad manusia. Namun jika yang dicari adalah kesesuaian nilai tentunya akan ditemukan titik temu dan kesamaan.
Nilai tauhid dalam sila pertama sesuai dengan kandungan Qs an-Nisa ayat 58, nilai ‘adalah dalam sila kedua sesuai dengan Qs An-Nisa ayat 58, nilai tasamuh dalam sila ketiga sesuai dengan Qs al-kafirun ayat 6, nilai tasawur dalam sila ke empat sesuai dengan Qs al-Imran ayat 159, dan nilai ittihad dalam sila kelima sesuai dengan Qs. Al-Hujurat ayat 13.
Yang perlu diingat oleh generasi masa kini adalah kenyataan bahwa ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara bukan sesuatu yang instan. Ia telah mengalami pergumulan, perdebatan, dan diskusi yang panjang. Tugas generasi selanjutnya adalah menerapkan dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan para pendiri bangsa yaitu menjadikan bangsa yang adil dan makmur. Bukan justru membuka kembali keran perdebatan dengan mempertentangan antar Pancasila dan agama. []