Mubadalah.id – Polusi udara di Jakarta berpotensi terjadi di berbagai wilayah dan berdampak terhadap kerentanan perempuan dan anak. Sudahkah kamu memastikan kualitas udara di wilayahmu baik atau tidak? Atau, setidaknya melihat peringkat kualitas udara di daerah kita masing-masing. Mungkin nyaris tidak ada yang mendekati baik. Kemudian kita membayangkan udara yang kita hirup setiap harinya saat ini.
Setelah itu kita seperti sudah bisa membayangkan juga udara seperti apa yang akan dihirup oleh generasi kita di masa mendatang. Bisa jadi, ada dua kemungkinan, lebih baik atau semakin buruk. Namun, kemungkinan pertama seperti mustahil terjadi jika kondisinya tetap seperti ini.
Industri yang tidak berkelanjutan, emisi kendaraan, deforestasi, gaya hidup, dan tidak ditopang dengan kebijakan yang baik, sepertinya sudah memberikan gambaran bagaimana dunia yang akan kita huni ke depan. Celakanya, yang paling rentan terkena dampak polusi yang tinggi adalah perempuan dan anak.
Hal ini berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan dan berpengaruh terhadap kondisi anak dan bayi saat lahir. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana perempuan dan anak dapat mencapai emansipasi jika dalam tataran kesehatan reproduksi saja sudah mengalami kerentanan?
Polusi Udara
Polusi udara Jakarta merupakan peringatan yang saya menyebutnya sudah cukup terlambat dalam upaya mitigasi. Berdasarkan laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) tahun 2020 polusi udara Jakarta salah satunya disebabkan oleh fasilitas industri termasuk pembangkit listrik. Terdapat 136 fasilitas industri yang terdaftar dan bergerak di sektor yang memiliki emisi tinggi.
Selain itu, dalam laporan lainnya seperti Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementrian LHK yang melansir dari detik.com menyebut emisi kendaraan dan pergerakan angin juga menjadi salah satu penyebab polusi udara Jakarta, selain industri, manufaktur, perubahan, dan komersial.
Perkembangan industrialisasi dan teknologi transportasi serta kebijakan dalam konservasi lingkungan menjadi salah satu penentu kualitas udara kita ke depannya akan semakin baik atau sebaliknya. Perkembangan industri, teknologi transportasi, pengurangan ruang terbuka hijau, seperti penjelasan sebelumnya tentu tidak hanya terjadi di Jakarta.
Di wilayah-wilayah lainnya juga akan terjadi, Jakarta hanya salah satu wilayah saja yang kebetulan menjadi wilayah paling buruk. Kita yang tinggal di luar Jakarta, juga berpotensi mengalami hal yang sama dan mungkin sedang mengalami hal yang sama hanya kualitasnya berbeda.
Kerentanan Perempuan dan Anak
Dalam perspektif ekofeminisme, sebuah bencana polusi ini merupakan mentalitas maskulin yang mengingkari hak perempuan terhadap diri dan seksualitas. Bencana polusi hasil dari sistem ganda antara dominasi patriarki dan kekuasaan negara yang menyebabkan opresi terhadap tubuh perempuan dan anak. Bagaimana tidak, perempuan dan anak menjadi elemen paling rentan saat terjadi bencana polusi.
Perempuan mengalami kerentanan dalam kesehatan reproduksinya khususnya ibu hamil. Polusi akan memengaruhi kesehatan dirinya dan janin. Gangguan kesehatan akibat polusi udara dapat berupa gangguan pernapasan, infeksi, iritasi, dan peradangan tenggorokan.
Di mana, WHO telah memperkirakan pada tahun 2016 kurang lebih 600.000 anak meninggal karena infeksi pernapasan yang disebabkan oleh udara buruk. Seperti yang kita ketahui, tumbuh kembang tubuh anak belum sempurna orang dewasa. Sehingga, kerentanan semakin terbuka lebar sedangkan kehamilan dan kondisi ibu merupakan jalan pertama yang menentukan kesehatan anak.
Karenanya, pada kerja-kerja eksploitatif dan kerusakan lingkungan, upaya perempuan untuk menghentikannya kita lihat lebih besar akhir-akhir ini. Bukan karena aktivisme perempuan lebih tinggi terhadap feminisme, tetapi karena perempuan yang paling merasakan betul dampaknya.
Perempuan yang mengalami dan memahami sendiri bagaimana perkembangan janin dan bayi-bayi mereka secara berkala di tengah polusi udara. Seperti yang terjadi di Jerman dan India saat terjadi protes terhadap pembangkit tenaga listrik nuklir dan pelepasan 40ton gas beracun. Perempuan dan anaklah yang hanya bisa mengalami dan merasakan bentuk-bentuk kerentanan akibat bencana polusi.
Polusi udara karena industri, teknologi transpotasi, deforestasi, dan lainnya tentu juga merambat pada bencana-bencana lainnya seperti ketersediaan pangan yang bersih, air bersih, dan kondisi alam yang terbatas. Hal ini juga dapat berdampak pada krisis gizi dan ancaman zat beracun yang akan terjadi kapanpun tanpa kita tahu.
Apa yang Bisa Kita Lakukan
Kondisi polusi udara yang semakin parah tanpa adanya mitigasi dan upaya penghapusan merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pemegang kebijakan dan kita semua perlu melakukan penanganan dan upaya mitigasi dengan baik.
Kondisi demikian tentu perlu perubahan dalam level makro yang bisa menanganinya dengan membuat rumusan kebijakan yang memprioritaskan keselamatan lingkungan. Seperti penanganan industri tidak ramah lingkungan, sumber daya energi terbarukan dan berkelanjutan, dan lainnya.
Di level mikro, kita bisa memulainya dari lingkungan kita sendiri, mulai dari diri sendiri, keluarga, dan komunitas. Missal, menghemat energi, mengurangi mengonsumsi barang sekali pakai yang tidak ramah lingkungan, mengurangi penggunaan transportasi tidak ramah lingkungan, dan melakukan penanaman pohon skala kecil di rumah untuk membuka ruang terbuka hijau minimalis.
Kita perlu melakukan tindakan-tindakan penanganan dan pengurangan segara, melihat kondisi yang semakin memburuk dan berdampak secara berkelanjutan khususnya terhadap perempuan dan anak. kekerasan terhadap alam, perempuan, dan anak harus segera kita sadari dan hentikan bersama-sama. []