Mubadalah.id – Langkah terhenti menatap segerombolan siswa yang sedang bermain bersama di halaman sekolah. Keceriaan terpancar di wajah mereka tatkala memainkan tali yang terpegang oleh dua orang teman. Sementara yang lain meloncat dari arah yang berlawanan.
Sepintas saya lihat tidak ada yang berbeda dari mereka. Namun ternyata salah satu dari mereka adalah anak yang memiliki kebutuhan khusus. Ya, sekolah ini adalah sekolah inklusif yang berada di dusun Sidowayah, desa Sidoharjo, Ponorogo. Sudah sejak bertahun-tahun lamanya, sejak sekolah ini berdiri, sekolah ini menerima anak-anak dengan berkebutuhan khusus.
Adalah pak Budi Cahyono, salah seorang Guru Pendamping Khusus (GPK) di SDN 4 Krebet. Beliau menceritakan bahwa sudah sejak tahun 2010, SDN 4 Krebet menjadi sekolah inklusif. Hal ini bukan tanpa sebab. SDN 4 Krebet menjadi sekolah inklusif lantaran kita ketahui bahwa di dukuh tempat sekolah tersebut berada banyak anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Kondisi ini memaksa dinas pendidikan setempat untuk menjadikan SDN 4 Krebet sebagai sekolah inklusif yang menampung anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.
Dari 100 siswa yang ada di sekolah ini, 15 di antaranya tergolong ABK. Rata-rata anak-anak tersebut masuk ke dalam kategori ABK dengan tingkat akademik rendah. Sehingga sepintas secara fisik, mereka sama dengan anak-anak lainnya.
Lalu bagaimana kegiatan pembelajaran yang dilakukan di SDN 4 Krebet?
Menurut pak Budi kegiatan pembelajaran mereka lakukan secara reguler di kelas sesuai dengan jenjang masing-masing. Namun khusus untuk ABK, ada program tambahan khusus yang tersebut dengan program pembelajaran individual (PPI).
PPI ini lebih mereka fokuskan untuk memberikan materi tambahan yang belum dipahami anak di kelas menggunakan sistem drill. Yakni kegiatan latihan secara berulang-ulang pada materi tertentu yang belum anak kuasai. Pada kegiatan PPI ini pula, anak ABK mereka berikan motivasi agar lebih bersemangat dalam belajar.
Selain kegiatan PPI, untuk meningkatkan keterampilan siswa, pihak sekolah mendesain kegiatan ekstrakurikuler. Salah satunya melalui kegiatan berkebun.
“Mereka kita ajak untuk bertanam menggunakan polybag. Tanaman yang ditanam di antaranya kunyit, kencur dan lombok. Harapannya mereka memiliki kemampuan untuk bercocok tanam dengan memanfaatkan lahan yang ada di sekitar mereka”, ungkap pak Budi.
Tidak hanya berkebun, terdapat pula ekstrakurikuler tari, menganyam, pramuka, karawitan, serta olah raga. Seluruh ekstrakurikuler ini diberikan kepada anak-anak reguler maupun ABK. Sehingga bagi anak-anak ABK yang akademiknya rendah, mereka bisa lebih dikembangkan pada bidang non akademiknya.
Semisal bagi anak yang suka menganyam, maka pihak sekolah akan mengarahkan untuk belajar menganyam. Begitupun dengan peminatan pada aspek yang lain.
Terbukti, dengan ketekunan belajar, pada tahun 2016 lalu, salah satu siswa ABK pernah ada yang juara membuat tompo (salah satu perabotan tumah tangga) dari anyaman bambu. Kompetisi itu bukan untuk anak ABK saja, melainkan juga untuk anak-anak umum.
“ABK ternyata bisa bersaing dengan anak-anak reguler, jika mendapatkan dorongan dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun tentu pada aspek yang mereka sukai,” tambah pak Budi.
Identifikasi ABK yang dilakukan oleh sekolah
Sebagai upaya mendeteksi dini ABK, pada awal tahun ajaran, sekolah melakukan kegiatan IAP. Yakni identifikasi, assessment dan penempatan. Pertama, identifikasi, mereka lakukan pada saat pendaftaran siswa, yakni mereka diminta untuk mengisi form lengkap, mulai dari data diri, keluarga dan juga tentang riwayat kesehatan.
Kedua, assessment. Assessment mereka berikan khusus kepada ABK saja setelah melalui kegiatan observasi selama beberapa minggu di kelas. Guru kelas yang melakukan observasi melakukan koordinasi dengan GPK. Assessment ini sebagai acuan untuk memberikan pelayanan yang tepat kepada ABK.
Ketiga, penempatan, yakni memberikan perlakukan sesuai dengan kondisi siswa. Misalnya jika akademik memang kurang, maka kita arahkan untuk skill menganyam, maupun berkebun. Sekolah juga melakukan komunikasi dengan orang tua, untuk menggali data yang mendalam melalui kunjungan ke rumah.
Tentang banyaknya anak berkebutuhan khusus
Mengapa di Sidowayah banyak anak berkebutuhan khusus bahkan sempat mendapatkan julukan kampung idiot?
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa orang peneliti yang datang langsung ke lokasi, kita ketahui bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah air minum di dukuh Sidowayah yang berasal dari air sungai yang mengandung kapur dan minim zat yodium.
Tidak hanya itu, makanan pokok masyarakat setempat adalah nasi tiwul. Di mana nasi tiwul ini menghambat yodium. Sehingga seperti kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, kondisi ini nyaris menyebabkan angka ABK tinggi di desa tersebut. Hal ini tidak dapat kita pungkiri lantaran tingkat ekonomi masyarakat yang rendah. Sehingga kecukupan gizi anak-anak masih sangat kurang.
Namun sejak beberapa tahun silam, tepatnya mulai tahun 2010, kondisi ini berangsur membaik dengan banyaknya masyarakat yang merantau ke luar daerah maupun luar negeri. Dengan ekonomi yang semakin membaik, angka ABK juga semakin berkurang lantaran gizi semakin terjaga. Warga juga sudah tidak lagi meminum air sungai, tetapi air isi ulang yang sudah tersedia di desa ini.
Kebijakan sekolah inklusif sudah pemerintah gaungkan sejak tahun 2015 lalu. Bahkan dalam Permendiknas nomor 70 tahun 2009, setiap kabupaten atau kota berkewajiban menunjuk masing-masing jenjang (SD/SMP/SMA) minimal satu sekolah inklusif di setiap kecamatannya.
Melalui sekolah inklusif ini, anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar bersama-sama dengan teman sebayanya. Mereka tidak mengalami diskriminasi dan seluruh warga sekolah dapat menerimanya dengan baik. Hal ini sebagaimana amanat dari UUD 1945 pasal 31, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak. []