Mubadalah.id – Substansi dari perspektif mubadalah adalah soal kemitraan dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam membangun relasi kehidupan, baik di rumah tangga maupun dalam kehidupan publik yang lebih luas.
Sekalipun hal ini sangat kentara dalam teksteks Islam, tetapi terkadang ia tidak terlihat secara eksplisit dalam banyak kasus kehidupan nyata.
Perspektif mubadalah menawarkan sebuah metode pemaknaan, disebut qira’ah mubadalah, untuk mempertegas prinsip kemitraan dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam semua ayat, hadits, dan teks-teks hukum yang lain.
Metode ini bekerja untuk memperjelas posisi perempuan dan laki-laki sebagai. subjek yang disapa oleh teks-teks sumber dalam Islam.
Premis dari metode mubidalah ini adalah bahwa wahyu Islam itu turun untuk laki-laki dan perempuan. Karena itu, teks-teksnya menyapa mereka berdua.
Hukum-hukumnya pun datang untuk memberikan kemaslahatan bagi mereka keduanya, bukan salah satunya, baik untuk kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, jika ada teks atau putusan hukum yang baru eksplisit untuk kepentingan salah satu jenis kelamin, laki-laki misalnya, maka harus kita keluarkan makna, jika di dalam teks masih implisit, untuk kemaslahatan perempuan.
Begitu pun jika baru eksplisit untuk perempuan, maka ia (yang masih implisit dalam teks) harus kita keluarkan untuk laki-laki.
Kerja Metode Mubadalah
Kerja metode mubadalah adalah bagaimana mengungkap pesan utama dari suatu teks. Baik yang berbentuk umum tapi bias salah satu jenis kelamin.
Juga, termasuk yang khusus laki-laki (mudzakkar) di mana perempuan tidak kita sapa, maupun khusus perempuan (muannats) dan laki-laki belum kita sapa. Sehingga pesan utama teks tersebut kemudian bisa kita aplikasikan kepada dua jenis kelamin.
Kedua jenis kelamin, dengan metode mubadalah, laki-laki dan perempuan kita sapa oleh teks dan menjadi subjek pembicaraan di dalamnya.
Metode pemaknaan mubadalah ini berdasarkan pada tiga premis dasar berikut:
Pertama, bahwa Islam hadir untuk laki-laki dan perempuan, sehingga teks-teksnya juga harus menyasar keduanya.
Kedua, bahwa prinsip relasi antara keduanya adalah kerja sama dan kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan,
Ketiga, bahwa teks-teks Islam itu terbuka untuk dimaknai ulang agar memungkinkan kedua premis sebelumnya tercermin dalam setiap kerja interpretasi*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.