Mubadalah.id – Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan, kesetaraan,
dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik.
Secara mendasar bisa dikatakan paralel dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Artinya, pada dataran prinsipil tersebut antara Islam dan demokrasi tidaklah bertentangan.
Sejumlah konsep ajaran Islam yang dipandang sejalan dengan prinsip demokrasi adalah: pertama, al-musawah (egalitarianism). Bahwa manusia memiliki derajat dan posisi yang setara di hadapan Allah.
Kedua, al-hurriyah (kemerdekaan). Ketiga, al-ukhuwwah (persaudaraan). Keempat, al-‘adilah (keadilan) yang berintikan pada pemenuhan Hak Asasi Manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat-negara.
Kelima, al-syura (musyawarah). Bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartsipasi di dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama. Kiranya mekanisme penyusunan sebuah kompilasi hukum Islam harus bersendikan kelima pokok ajaran tersebut.
Kemaslahatan
Sesungguhnya syari’at (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih) dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar’u al-mafasid).
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan (al-mashlahat), keadilan (al-‘adl), kerahmatan (al-rahmat), dan kebijaksanaan (al-hikmah).
Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.
Persoalannya, jika acuan hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang berhak mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk merumuskannya.
Untuk menjawabnya, perlu kiranya dibedakan antara kemaslahatan yang bersifat individual subyektif dan kemashlahatan yang bersifat sosial-obyektif.
Yang pertama adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang per-orang yang terpisah dengan kepentingan orang lain. Tentu saja sebagai penentu kemaslahatan pertama ini adalah yang bersangkutan itu sendiri, seperti dalam kasus poligami (perempuanlah penentu kemaslahatan dan keadilan). []