Mubadalah.id – Prinsip keadilan dalam agama Islam berlaku universal. Ia tidak hanya diberlakukan terhadap orang-orang mukmin saja. Tetapi juga terhadap orang-orang non muslim dan siapa saja yang tidak berbuat zalim. Al-Qur’an menegaskan hal ini:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah (60): 8).
Atas dasar itu, maka keadilan juga harus ditegakkan dalam relasi-relasi laki-laki dan perempuan, sesuai dengan konteks yang berkembang, karena kaum perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan hak-hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki.
Pemberian hak kepemimpinan pada perempuan, baik dalam ruang privat maupun ruang publik. Misalnya, dapat direalisasikan sepanjang mereka memiliki kualifikasi-kualifikasi kepemimpinan itu, seperti juga bagi laki-laki.
Kualifikasi kepemimpinan di mana pun harus berdasarkan atas aspek-aspek moral, intelektual, keadilan, dan prestasi-prestasi pribadi, bukan atas dasar kriteria suku, ras, jenis kelamin, bangsa, dan sebagainya.
Realitas sosio-kultural yang pluralistik dan bertingkat-tingkat dalam kriteria primordial. Misalnya seperti yang kita sebut terakhir itu tidak bisa menjadi dasar bagi penegakan keadilan. Karena kriteria-kriteria ini dapat melahirkan ketidakadilan itu sendiri.
Islam, sebagaimana di kemukakan dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad Saw telah memberikan hak otonomi kepada kaum perempuan di luar otonomi kaum laki-laki.
Otonomi yang diberikan oleh Islam kepada kaum perempuan membuka peluang bagi mereka untuk memainkan peranan dalam berbagi ruang sejarah, ruang privat, dan ruang publik.
Pada saat ini, otonomi yang perempuan miliki meliputi bidang-bidang yang semakin luas: sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain.
Akan tetapi, meletakkan peran seperti ini, tetap saja harus kita arahkan dalam kerangka moralitas utama tauhid. Yaitu ketakwaan atau sebutan lain yang semakna, seperti amal shalih. []