Mubadalah.id – Petatah petitih Sunan Gunung Djati “Ingsun titip tajug lan fakir miskin” ini lazim kita temui ketika sedang berziarah ke makam salah satu Wali Sanga di daerah Cirebon. Kemarin, Rabu 10 April 2025 saya berkesempatan mengikuti ziarah bersama Ketua Majelis Dzikir Puser Bumi Rieke Dyah Pitaloka, yang juga anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.
Kedatangannya ke Cirebon selain berziarah ke nenek moyangnya, juga menggelar FGD perdana Majelis Dzikir Puser Bumi. Ketika pertama kali menerima undangan via pesan singkat, saya bertanya-tanya apa Puser Bumi? Apa maknanya? Di mana tempatnya?
Pertanyaan itu akhirnya terjawab sudah ketika dalam forum FGD yang bertempat di area Makam Syeikh Datul Kahfi atau nama lain Syeikh Nurjati, Rieke menjelaskan secara gamblang. “Insya Allah kita akan kolaborasi, kayaknya apa yang kita capai bisa lebih luas daripada kita hanya bekerja dengan dua tangan dan dua kaki. Saya jujur acara hari ini adalah dalam rangka memohon dukungan dan bantuan untuk Majelis Dzikir Puser Bumi.” Tuturnya.
Hadir bersama 15 peserta lainnya, yaitu KH Husein Muhammad, Dr Faqihuddin Abdul Kodir, Marzuki Wahid, Marzuki Rais, Rosidin, Rozikoh, Hj Thoatillah Jafar, Nyai Fadhilah Munawwaroh, Alifatul Arifianti, Abdulloh, Fachrul Misbahudin, Fitri Nurazizah, Vevi Alfi Maghfiroh, Aida Nafisah, Mumu Mustofa dan Zainal Abidin.
Sementara itu Rieke Dyah Pitaloka didampingi oleh Mbak Masruchah, dan Sultan Kanoman ke XII Sultan Saladin dari Kasultanan Kanoman Cirebon. Lalu Ketua DPRD Kabupaten Cirebon Shopi Zulfia beserta para staf.
Dalam kesempatan FGD, banyak menyinggung sosok Syarifah Mudaim atau lebih terkenal dengan Nyi Mas Rara Santang. Di mana hingga hari ini perannya jarang kita sebutkan dalam narasi sejarah. Beliau adalah ibunda Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Menurut keterangan yang populer, ia masih memiliki jalur nasab yang kuat dengan Kerajaan Pajajaran sebagai putri dari Prabu Siliwangi dan permaisuri Nyi Mas Subang Larang.
Menghidupkan Kembali Sosok Syarifah Mudaim
Dalam sejarah Cirebon ia sudah beragama Islam sejak kecil. Bersama kedua saudaranya yaitu Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana dan Raden Kian Santang. Mereka hidup dengan penuh kenyamanan karena putra-putri seorang raja yang sangat dihormati oleh masyarakat.
Dengan demikian, ketika menginjak usia dewasa, mereka diutus untuk belajar dan memperdalam agama kepada Syaikh Nur Jati di daerah utara Pajajaran. Kemudian daerah tersebut menjadi cikal bakal wilayah Caruban atau Cirebon
Rara Santang dan saudara-saudaranya, setelah mereka belajar kepada Syaikh Nur Jati, kemudian mereka menerima saran untuk pergi menunaikan rukun Islam yang terakhir yaitu berhaji ke Baitullah. Sebagai santri mereka menuruti perintah dari sang guru. Bergegaslah mereka mempersiapkan keperluan untuk perjalanan yang cukup panjang.
Singkat cerita, Nyi Mas Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah Azmatkhan. Dalam versi lain menyebutkan Sultan Mahmud atau Hud keturunan Nabi Muhammad Saw yang menjadi penguasa di daerah Mesir dan sekitarnya. Sementara kedua saudaranya, Pangeran Cakrabuana Kembali ke Syaikh Nur Jati dan Raden Kian Santang kembali ke Pajajaran.
Pernikahan Rara Santang dengan Sultan Hud dikaruniai dua putra yaitu Syarif Hidayatullah yang kemudian berdakwah di tanah Nusantara. Sedangkan Syarif Nurullah yang meneruskan perjuangan ayahnya di Mesir.
Menurut Rieke Dyah Pitaloka, ibunda Sunan Gunung Djati tersebut, ia yakini adalah perempuan yang memiliki karakter dan pemikiran luar biasa. Di mana keputusan-keputusan Syarif Hidayatullah, baik dalam penyebaran agama Islam juga keputusan sebagai pemimpin pemerintahan mendapat pengaruh dari sang ibunda.
“Nah saya sedang terus menggali dan mencari arsipnya, bahkan Syarifah Mudaim itu pernah membuat semacam perguruan untuk kepemimpinan, bagaimana beliau sebagai kepala sekolah, entah dalam bentuk seperti apa, untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak memisahkan ilmu keislaman dengan kebijakan begitu.” Ungkapnya.
Menilik Konsep Pemerintahan Syarif Hidayatullah
Salah satu konsep yang penting, sebagaimana penjelasan Rieke adalah sistem pemerintahan Syarif Hidayatullah dengan memaknai “ingsun titip tajug lan fakir miskin.” Ingsun titip fakir miskin itu lewat apa? Menurutnya sama juga dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, ini terkait sistem pemerintahan, bagaimana melahirkan kemaslahatan dengan suatu sistem yang kemudian akan diadopsi oleh Indonesia saat ini. Tepatnya pada masa pemerintahan Indonesia pertama, yaitu sistem desentralisasi.
Kerajaan Islam Kacirebonan di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah menganut sistem desentralisasi, yaitu suatu sistem pemerintahan yang memberikan keleluasaan, memberikan wewenang kepada “daerah jajahan” untuk bisa berdaya secara ekonomi, sosial dan budaya.
Bagaimana mengadakan distribusi keadilan di dalam sistem pemerintahan yang diajarkan oleh Syarif Hidayatullah adalah desentralisasi untuk mendistribusikan keadilan. Jadi bukan untuk mengendalikan daerah di bawah kacirebonan, tetapi bagaimana ada distribusi keadilan untuk kemudian memperkuat daerah tersebut.
Memaknai Ulang Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin
Rieke menambahkan hal ini menjadi penting, sehingga keberadaan Puser Bumi tidak hanya menjadi majelis dzikir, tapi juga barangkali menjadi pusat pikir untuk kehidupan Indonesia lebih baik di masa yang akan datang. Yakni dengan semangat Islam yang rahmatal lil alamin yang memberikan makna pada ingsun titip fakir miskin, untuk melahirkan kesejahteraan.
“Nanti ke depan dengan konstitusi yang kita miliki, optimis kita bisa melanjutkan konsep dari Syeikh Syarif Hidayatullah. Yaitu melalui lima bidang kesejahteraan, antara lain pertama cukup sandang pangan dan papan. Kedua, pendidikan dan kebudayaan.” Tutur Rieke.
Selain itu pemeran Oneng dalam Film bajai Bajuri ini menambahkan, ketiga, pekerjaan, kesehatan dan jaminan sosial. Keempat, terpenuhinya hak rakyat atas kehidupan sosial, perlindungan hukum dan HAM. Kelima, terpenuhinya hak rakyat atas infrastruktur dan lingkungan hidup yang baik, aman dan nyaman.
Lalu apa konteksnya dengan Cirebon? Itu yang menurut Rieke menjadi pertanyaan besar. Konteksnya dengan Cirebon, Rieke berharap melalui Majelis Dzikir Puser Bumi bisa mewujudkan petatah petitih Sunan Gunung Djati, seperti memaknai ulang Ingsun titip tajug lan fakir miskin, yang tidak hanya berhenti di ruang kajian, tetapi juga harus menjadi keputusan atau kebijakan di Cirebon. []