Mubadalah.id – Di sebuah percakapan, tiba-tiba adik saya bertanya:‘Orang sakit itu boleh nggak puasa ya?’ Secara singkat saya menjawab, ‘Boleh, kalau dia benar-benar tidak mampu menjalaninya, karena itu bagian dari rukhsah alias keringanan dalam beragama.’ Adik manggut-manggut paham, tetapi saya kembali menegaskan, ‘Tapi jangan kita jadikan alasan untuk pura-pura sakit ya.’
Begitulah kira-kira agama memberi keringanan untuk umat muslim di bulan Ramadan. Namun di sisi lain, saya kerapkali juga menjumpai beberapa orang yang tetap berpuasa meskipun sedang sakit. Alasannya menyayangkan pahala bulan puasa Ramadan jika harus kita tinggalkan.
Dari gambaran ini, kemudian timbullah pertanyaan batasan sakit yang membolehkan seseorang tidak puasa Ramadan itu seperti apa? Apakah setiap sakit kemudian mendapatkan keistimewaan rukhsah ini, atau apakah baik memaksakan diri tetap berpuasa meskipun sakit.
Perintah Ibadah Puasa Ramadan
Dalam Islam, kewajiban beribadah berlaku bagi mukallaf. Yakni setiap orang yang berakal sehat dan dewasa (baligh). Adapun dalam puasa Ramadan, ketentuan lainnya antara lain adalah memiliki kemampuan fisik (ithaqah) untuk menjalankan puasa. Dalam istilah fikih hal tersebut dikatakan sebagai syuruth al-wujub atau syarat kewajiban.
Oleh karenanya, jika syarat tersebut tidak terpenuhi, misalnya dalam hal puasa, seseorang tidak memiliki kemampuan secara fisik (ithaqah) dalam menjalankannya, maka ibadah puasa tidak lagi bersifat wajib bagi yang bersangkutan.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 184, juga ada penjelasan terkait kewajiban puasa Ramadan bagi setiap mukallaf. Namun ada keringanan bagi ia yang sakit dan atau dalam perjalanan (musafir). Jika tidak menjalankannya, maka ia harus menggantinya di hari lain di luar bulan Ramadan.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ
“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”
Batasan Sakit yang Mendapatkan Rukhshah Tidak Berpuasa
Sebagaimana penjelasan dalam ayat tersebut, bahwa salah satu yang mendapatkan dispensasi untuk tidak menjalankan puasa Ramadan adalah orang yang sakit. Adapun terkait batasannya, para fuqaha mengatakan bahwa sakit yang dimaksud adalah segala hal yang menyebabkan seseorang tidak mampu secara fisik untuk berpuasa.
Dengan kata lain, sakit yang jika penderitanya menjalankan puasa, maka penyakitnya akan bertambah parah. Atau paling tidak menghambat masa pemulihannya, maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di luar bulan Ramadan. Sebagaimana pesan firman Allah SWT: ‘Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu’ (Q.S. An-Nisa: 29).
Dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhajy secara spesifik penjelasannya adalah, jika puasa mengakibatkan al-halak (kerusakan fungsi organ tubuh, cacat, atau meninggal), maka yang bersangkutan tidak wajib puasa. Bahkan dalam kondisi tersebut, haram bagi dia untuk berpuasa. Tentu saja ini perlu diagnosa dokter atau ahli kesehatan yang menentukan tingkat kondisi sakit seseorang.
Ketentuan di atas sejalan dengan kaidah fikih ad-dharurah tubihu al-mahdhurah, keadaan darurat memperbolehkan sesuatu yang semestinya dilarang. Juga sejalan dengan tujuan pokok syariah (maqashid as-syariah) yaitu hifdz an-nafs (menjaga keselamatan diri), yang menganjurkan agar tidak menyakiti diri sendiri, maupun orang lain. ‘Allah tidak pernah menjadikan dalam agama suatu kesulitan bagi kalian.’ (Q.S. Al-Hajj ayat 78).
Orang Sakit dan Tetap Menjalankan Puasa, Bagaimana Hukumnya?
Sebagaimana yang sudah saya jelaskan di atas, terkadang beberapa orang juga tetap menjalankan puasa Ramadan di tengah kondisi sakit dan bertahan dengan rasa beratnya. Karena menyayangkan keutamaan pahala yang akan kita dapatkan.
Di kondisi seperti ini, maka puasa yang ia jalani tetap sah, namun makhruh. Pendapat ini tersampaikan oleh Syeikh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah. Beliau beralasan bahwa orang yang sakit tersebut menghindar dari rukhsah (keringanan) yang Allah berikan kepadanya. Karena ada kekhawatiran jika puasa yang ia jalani tersebut, membahayakan kondisi kesehatannya.
Tentu saja keringanan yang Allah berikan terkait ibadah puasa ini juga harus kita sikapi dengan bijaksana. Bagaimanapun ajaran agama tidak pernah menyulitkan hambanya. Selain itu, hambanya pun tidak boleh meremehkannya. Wallahu a’lam bi as-shawab. []