Mubadalah.id – 10 Oktober kita peringati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Harus kita akui, di era media sosial yang berkembang sekarang, semakin banyak orang yang punya ruang untuk membicarakan kesehatan mental. Meski begitu, stigma juga masih sangat kuat melekat terhadap mereka yang memiliki kondisi mental berbeda.
Ada banyak stigma keagamaan yang menyudutkan teman-teman dengan pergumulan mental. Ketika mereka menyampaikan bahwa dirinya sedang rapuh atau kehilangan arah, tak jarang justru dicap lemah iman atau kurang bersyukur. Bahkan ada yang dianggap kurang dekat dengan Tuhan hanya karena berani jujur soal perasaan.
Padahal jika kita mau menelisik ke belakang dan mempelajari sejarah manusia paling mulia, Rasulullah, kita akan mendapati bahwa beliau pun pernah mengalami masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Masa-masa yang mengguncang batin dan membuat mental beliau berada di titik nadir.
Kehilangan dan Luka Batin Rasulullah
Kehidupan Rasulullah penuh dengan ujian, baik yang bersifat fisik maupun mental dan emosional. Sejak kecil, beliau telah berhadapan dengan kehilangan orang-orang tercinta. Bagi seorang anak yang membutuhkan sandaran dan pengayom, ini tentu menjadi hal yang berat.
Selepas ditinggal wafat oleh ibunya di usia yang masih sangat muda, dalam rentang yang tak begitu lama, beliau juga harus merelakan kakeknya kembali ke haribaan Tuhan. Setelah itu, Rasulullah kecil tinggal dalam asuhan pamannya.
Kehilangan demi kehilangan ini bukanlah hal mudah. Bagi siapa pun, kehilangan orang yang dicintai berarti kehilangan support system yang selama ini menjadi tempat bertumpu. Itulah mengapa duka sering kali terasa begitu menghantam batin.
Sejarah juga mencatat masa yang disebut sebagai ‘Ām al-Ḥuzn (Tahun Duka Cita). Pada fase ini, Rasulullah kembali menghadapi kehilangan besar berupa wafatnya Khadijah, istri tercinta yang selama ini menjadi penopang emosional beliau dalam menghadapi kerasnya tantangan dakwah, serta wafatnya Abu Thalib, paman yang melindungi Rasulullah secara sosial-politik.
Tahun duka cita ini membuat Rasulullah kehilangan dua support system terpenting. Dukanya begitu dalam hingga para sahabat bersaksi bahwa Rasulullah jarang keluar rumah, dan wajah beliau dipenuhi kesedihan. Pada fase ini, Rasulullah benar-benar mengalami kondisi down.
Rasulullah Pun Menghadapi Masa-Masa Cemas
Bukan hanya kehilangan orang terdekat, Rasulullah juga pernah mengalami kecemasan yang mendalam karena jeda turunnya wahyu. Saat wahyu sempat terhenti, orang-orang Quraisy mengejek bahwa Tuhan telah meninggalkan dan membencinya. Ucapan itu menusuk batin Rasulullah yang sedang gelisah.
Di tengah kesedihan itu, Allah lantas menurunkan QS. Ad-Dhuha sebagai penghiburan, yang berbunyi:
“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau dan tidak (pula) membencimu. Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.”
(QS. Ad-Dhuha: 3–4)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan Rasulullah, apalagi membencinya. Justru di hadapan beliau terbentang karunia yang jauh lebih besar daripada apa yang telah berlalu.
Emosi Adalah Hal yang Normal dan Betapa Sebagai Manusia, Kita Membutuhkan Support System
Dari pengalaman Rasulullah kita menyadari bahwa kesedihan, air mata, rasa kehilangan, dan luka batin adalah hal yang normal. Emosi itu tidak perlu tersembunyikan atau dipaksa untuk hilang, karena ia adalah bagian dari fitrah manusia. Rasulullah sendiri pernah bersabda ketika menangisi putranya, Ibrahim:
“Air mata ini mengucur deras, hati pun bersedih. Namun, kami tidak mengatakan kecuali yang diridai oleh Tuhan kami.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa menangis atau merasa sedih bukanlah aib, melainkan cara manusia mengekspresikan cinta dan kehilangan.
Kita juga belajar betapa manusia sangat membutuhkan support system, entah itu pasangan, keluarga, sahabat, atau komunitas. Kehilangan mereka bisa mengguncang jiwa sedalam-dalamnya, dan tidak ada yang salah dengan itu. Justru dari situlah kita semakin menyadari pentingnya saling menguatkan, saling hadir, dan saling peduli terhadap satu sama lain.
Jangan Remehkan Duka
Hari Kesehatan Mental Sedunia mengingatkan kita bahwa jika seorang Rasulullah saja mengalami masa-masa down karena kehilangan orang terdekatnya, apalagi kita sebagai manusia biasa.
Maka jangan pernah meremehkan rasa duka, jangan merendahkan orang yang sedang bergulat dengan kondisi mentalnya. Sebaliknya, mari belajar memberi dukungan, mendengarkan, dan menemani mereka yang sedang berjuang melewati masa-masa yang tak mudah itu.
Sebagaimana Allah meneguhkan hati Rasulullah di saat beliau berduka, maka kita pun perlu saling menguatkan dalam menghadapi luka. []