Mubadalah.id – Musim gugur di California selalu datang dengan aroma dedaunan kering dan udara dingin, namun kali ini terasa lebih dari sekadar itu. Di antara hamparan kampus yang luas dan modern, langkah santri Indonesia membawa semangat pesantren ke tanah California, Amerika. Mereka datang bukan sekedar menimba ilmu, tapi untuk menegaskan bahwa nilai Islam moderat dapat tumbuh di panggung dunia.
Inilah refleksi Hari Santri yang ingin saya bagikan. Saya adalah satu di antara 18 peserta program Short Course yang diselenggarakan oleh Program Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) bekerja sama dengan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an) Jakarta dan University of California, Riverside (UCR).
Kami datang dengan latar belakang tengah menempuh magister dan doktoral Studi Tafsir. Dua belas di antara kami adalah kader ulama Perempuan. Bagi kami, perjalanan ini bukan sekadar kesempatan akademik. Ini adalah perjalanan spiritual, sosial, dan intelektual.
Pesan Pesantren Kepada Dunia; Moderasi Sebagai Jalan Belajar, Berdialog, dan Menafsir Ulang
Perjalanan kami bermula dari pesantren, ruang di mana ayat dan tafsir menjadi napas, kesederhanaan dan keikhlasan menjadi dasar kehidupan. Kemudian ditempa dalam program PKUMI include penajaman berbagai teori tafsir di kampus PTIQ. Kini, kami menjejakkan kaki di salah satu universitas ternama dunia.
Tampilan kontrasnya begitu terasa; dari mushala sebagai tempat kajian ke perpustakaan internasional, dari ruang kuliah regular ke ruang kuliah internasional. Slogan “Moderat Mendunia” tidak sekedar kompromi antara dua kutub ekstrem, melainkan keseimbangan antara teks dan konteks, iman dan ilmu, antara lokalitas dan globalitas. Islam Indonesia memiliki kekayaan original, di antaranya tradisi pesantren yang selain mendidik raga, juga tarbiyah atas hati, sikap sekaligus pikiran.
Ketika berada di ruang akademik internasional, kami membawa wajah Islam wasathiyyah; yang tidak keras, tidak eksklusif, dan tetap kokoh pada prinsip kebenaran dan kasih sayang. Sebagaimana firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat yang wasath (moderat), agar kamu menjadi saksi atas manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143). Ayat inilah yang menjadi kompas spiritual bagi kami.
Di UCR, kami berjumpa dengan beragam paradigma sebagaimana di Indonesia. Prof. Muhamad Ali mengetengahkan bahwa studi al-Qur’an merupakan kajian dengan pendekatan analitis, kritikal dan saintifik, berbeda dengan mempelajari al-Qur’an yang bercorak spiritual dogmatis.
Prof. Michael Alexander membahas harmoni antara agama, mitos, dan ritual dalam berbagai tradisi keagamaan. Tujuan kajian ini untuk memahami bagaimana agama berfungsi sebagai struktur makna, alat pembebasan, maupun sarana kekuasaan.
Sementara mata kuliah yang mengesankan santri putri adalah kelas Feminisme and Islam Prof. Sahin Achigoz. Ia memaparkan ruang refleksi bagaimana nilai kesetaraan dalam Islam justru berakar dari teks suci bukan hasil impor dari luar, dengan berbasis perspektif sarjana barat yang padahal identik dengan nilai sekuler liberal.
Setiap diskusi membuka kesadaran baru bahwa menjadi santri di dunia global bukan berarti meninggalkan akar, melainkan menumbuhkannya di tanah baru. Inilah salah satu makna lain dari refleksi Hari Santri.
Peran Dan Tekad Perempuan Menggerakkan Perubahan
Sebagai perempuan berkeluarga, perjalanan ini bukan hal yang mudah. Ada perasaan bersalah meninggalkan rumah dan anak, muncul pula keraguan apakah langkah ini terlalu nekat. Untungnya dalam setiap keraguan, kami menemukan jawaban meneguhkan. Perempuan dalam Islam tidak hanya ditempatkan sebagai pelengkap, tetapi juga pilar.
Dalam keluarga, perempuan adalah almadrasatul ula bagi anak anaknya; dalam masyarakat, ia adalah penentu arah moral; dan dalam bangsa, ia adalah penopang peradaban. Allah SWT berfirman: “Allah akan meninggikan orang orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).
Ayat ini tidak hanya membincang kemuliaan ilmu, tetapi juga tentang kesetaraan kesempatan. Maka kami meyakini, setiap langkah bukan semata demi diri sendiri, tetapi demi keluarga, masyarakat, dan tolak ukur masa depan perempuan santri Indonesia yang harus terus menyalakan gelora pendidikan dan perubahan lebih baik.
Kita sering menunggu situasi ideal untuk berubah; waktu yang tepat, usia yang sesuai, atau kesempatan yang sempurna. Namun perjalanan ini mengajarkan bahwa perubahan tidak pernah menunggu kesiapan. Ia dimulai dari tekad, kami (aka: saya) menempuh studi doktoral setelah jeda sepuluh tahun sejak menyelesaikan magister.
Dalam masa itu, kehidupan saya lebih dipenuhi peran domestik sebagai anak, ibu, pendamping, dan pendidik bagi tiga anak. Peran publik sebatas organisasi perempuan penghafal al-Qur’an (JMQH), anggota KUPI dan pengajar non ASN.
Di sela rutinitas itu, “nyala” optimisme disertai suara batin terus memanggil: bahwa belajar dan melanjutkan pendidikan adalah bagian dari pengabdian kepada Tuhan. Perjalanan ini menjadi peneguh firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).
Refleksi Hari Santri; Ucapan Dari California
Melalui refleksi Hari Santri tahun ini kami rayakan jauh dari negeri tercinta, namun maknanya justru semakin dalam. Menjadi santri tidak harus terus berada di ruang spiritual, berkumpul circle santri dan selalu memegang kitab kuning. Santri juga harus ada yang hadir dalam ruang akademik internasional, mengenalkan bagaimana tafsir yang lebih menyejukkan dan berkeadilan.
Meski pergerakan kami di universitas ternama dan center panggung dunia saat ini (USA), namun jiwa kesederhanaan dan cinta ilmu yang terwariskan oleh para guru di tanah air tak akan pernah berubah. Kami tetap membawa ruh pesantren.
Ngaji, zikir dan doa menjadi bagian dari keseharian, sementara kajian kitab, diskusi ilmiah dan produktifitas menulis terus berjalan. Kami berusaha terus menghadirkan “nyawa” spiritualitas di tengah modernitas.
Setelah program berakhir, kami tentu kembali ke Indonesia dengan membawa lebih dari sekadar pengetahuan. Namun juga pengalaman lintas budaya, wawasan akademik, dan keyakinan baru bahwa Islam Indonesia dapat “bersuara” tanpa kehilangan akar tradisinya. Tempat kami “pulang” tetaplah pesantren, majlis ta’lim, kampus, juga ruang publik lainnya.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa Islam moderat bukan sekadar gagasan, tetapi praktik hidup. Bahwa para santri bisa mewarnai peradaban dunia, bahwa santri putri bukanlah the second class, mereka jika diberikan kesempatan pasti turut menjadi penentu arah. Kami yang sedang “ngaji” di California bukan hanya belajar, tetapi juga berusaha menyalakan cahaya.
Sebagaimana pesan Rasulullah SAW: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Kami akan berupaya menjadi manusia yang keberadaannya menghadirkan manfaat, langkahnya membawa kedamaian, dan ilmunya menumbuhkan kebijaksanaan.
“Selamat Hari Santri untuk semua santri Indonesia, Mari menjadi santri Moderat Mendunia”
“Semoga Keluarga Besar Pesantren Senantiasa Dirahmati Allah Swt.” []