Ramdhan tahun ini sangat berbeda dengan tahun kemarin, jika tahun kemarin banyak pasar takjil maka sekarang sepi, jika tahun kemarin jadwal buka bersama mengantri sekarang tiada lagi. Ya, semenjak ada covid-19 aktivitas dan kebiasaan kita berubah.
Namun ada hal yang sangat saya syukuri dalam kondisi ini, yaitu adanya ngaji online, ngaji kitab kuning yang biasanya hanya diadakan di pesantren-pesantren dan tertutup (hanya untuk para santri), sekarang menjadi pengajian yang bisa diakses oleh semua orang, termasuk saya.
Tidak hanya itu, para kyai dan bu nyai yang sangat ingin saya ikuti pengajiannya dari dulu, sekarang menggunakan youtube untuk merekam pengajiannya. Betapa bahagianya sekarang banyak pengajian dari berbagai kitab kuning dengan kyai dan bu nyai terpercaya yang bisa kita ikuti dengan gratis dan ditonton kapanpun.
Salah satunya daftar pengajian yang diadakan oleh KUPI, saya tertarik mengikuti kajian dari Kyai Zudi Rahmanto yang membahas kitab washiyatul musthafa, video pengajian dibuat setiap hari dalam kanal youtube beliau, dengan durasi rata-rata 20 hingga 30 menit, kitab ini berisi tentang nasihat-nasihat berperilaku dalam beragama.
Kemarin saya menonton pengajian Kyai Zudi berjudul “1000 Teman Vs 1 Musuh”, kanal Kyai Zudi masuk dalam deretan pengajian online dari KUPI yang pembahasannya menggunakan prespektif mubaadalah, sebelumnya saya belum pernah mendengar bagaimana pengajian prespektif mubaadalah itu..
Pada pembahasan ini dijelaskan jika membangun relasi harus berlandaskan nilai-nilai kebenaran, seperti jujur, menjaga amanah, empati terhadap fenomena yang terjadi, menjaga nafsu, menjaga tangan (kekuasaan) dan menjaga pandangan.
Relasi apapun dan pada siapapun seharunya menggunakan landasan kebenaran yang sesuai agama, kejujuran sangat penting untuk menjalin komunikasi dua arah, mengatakan kejujuran meskipun tidak menguntungkan, berkata jujur adalah langkah pertama untuk membangun relasi yang seimbang.
Selanjutnya menjaga amanah dan empati terhadap fenomena, empati dalam artian mempunyai kepekaan terhadap apa yang terjadi disekitarnya. Kemudian menjaga nafsu, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai nafsu karena kita adalah manusia, yang dimaksud menjaga nafsu dalam pembahasan ini menurut Kyai Zudi adalah menjaga perut, karena dengan menjaga yang di makan maka akan mempengaruhi perilaku kita.
Lain lagi dengan menjaga tangan, menjaga tangan diartikan sebagai kekuasaan, menjaga kekuasaan yang dimilikinya agar tidak melakukan diskriminasi terhadap lingkungan yang ada disekitar. Terkahir menjaga pandangan, baik laki-laki maupun perempuan wajib menjaga pandangannya karena semua manusia berpotensi menjadi sumber fitnah.
Penjelasan Kyai Zudi terkait semua manusia berpotensi menjadi sumber fitnah membuat saya tertegun, dimana selama ini yang digembor-gemborkan adalah perempuan sebagai sumber fitnah. Saya sangat senang dengan penjelasan yang tidak memojokkan salah satu jenis kelamin, penjelasan yang menekankan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai tugas sama untuk menjaga keseimbangan sosial, sehingga tidak menyalahkan salah satu pihak jika terjadi masalah.
Lalu apa contohnya jika laki-laki berpotensi menjadi sumber fitnah? Saya jadi teringat cerita Nabi Yusuf, bukankah Zulaikha tergoda dengan ketampanan Nabi Yusuf, bahkan tidak hanya Zulaikha yang tertarik pada Nabi Yusuf, banyak perempuan lain yang tergoda atas ketampanan Nabi Yusuf. Bukankah ini adalah contoh nyata bahwa laki-laki juga berpotensi menjadi sumber fitnah?
Seharusnya narasi perempuan sumber fitnah harus diredam dengan narasi yang seimbang seperti ini. Karena narasi yang mengatakan perempuan sumber fitnah menjadikan perempuan merasa bahwa setiap kesalahan atau fitnah yang terjadi disebabkan oleh dirinya, sedangkan laki-laki merasa bebas dan menyalahkan perempuan karena doktrin ‘perempuan sumber fitnah’ menancap kuat dalam otak.
Seperti yang dikatakan Kyai Faqihuddin Abdul Kodir bahwa perebedaan laki-laki dan perempuan adalah kenisacayaan, tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan satu lebih mulia dibanding lainnya. Secara moral keagamaan, yang satu tidak boleh egois dan sombong terhadap yang lain, begitu juga yang satu tidak boleh tersisih dan terhina karena yang lain.
Seharusnya tidak ada yang menjadi korba kekerasan fisik, mental, politik, ekonomi, maupun sosial, apalagi mengatasnamakan Islam. Sebuah refleksi pengajian yang mampu membuka cara berfikir menjadi lebih seimbang, memahami secara kontekstual tanpa menjatuhkan satu sama lain. []