Mubadalah.id – Perihal rezeki menjadi masalah yang begitu dekat dengan kehidupan manusia sehari-sehari. Sebagian masyarakat bahkan memandang ini sebagai hal yang paling penting, terutama kaitannya dengan presepsi tentang kesejahteraan hidup. Semakin banyak rezeki yang dimiliki, semakin sejahtera pula hidupnya.
Namun, tidak dapat kita pungkiri, bahwa rezeki juga menjadi sumber kekhawatiran bagi sebagian orang. Kekhawatiran akan urusan rezeki yang sering kali menghantui individu ini disebabkan oleh berbagai faktor.
Seperti ketidakpastian ekonomi, kebutuhan finansial yang meningkat, tantangan hidup semakin berat, atau bahkan standar hidup yang tinggi. Tentu saja khawatir yang berlebihan terhadap rezeki dapat berdampak negatif pada kesejahteraan hidup seseorang.
Khawatir terhadap masalah rezeki ternyata juga pernah para sahabat alami di masa Rasulullah, yaitu ketika turun perintah kepada kaum Muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Sebab alasan itulah muncul kekhawatiran, jika hijrah mereka tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sehingga Allah menurunkan firman-Nya, surah al-Ankabut ayat 60 untuk menepis perasaan khawatir mereka dan menumbuhkan keyakinan bahwa Allah adalah pemberi rezeki yang tak terbatas.
وَكَاَيِّنْ مِّنْ دَاۤبَّةٍ لَّا تَحْمِلُ رِزْقَهَاۖ اللّٰهُ يَرْزُقُهَا وَاِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Dan berapa banyak makhluk bergerak yang yang bernyawa tidak (dapat) mengusahakan rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tadabbur Surah Al-Ankabut: 60
Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. berkata kepada umat Islam di Mekah, tatkala kaum musyrikin terus menyakiti mereka. “Berhijrahlah kalian ke Madinah dan jangan tinggal bersama orang-orang zalim ini.” Mereka lantas berkata “Kami tidak mempunyai rumah maupun tanah di sana sebagaimana kami juga tidak mempunyai orang yang akan memberi kami makan dan minum.”
Dalam ayat ini Allah mengabarkan kepada umat Islam di Makkah bahwa rezeki itu tidak hanya terfokus pada tempat tertentu saja. Namun rezeki Allah bersifat umum untuk seluruh makhluk-Nya di mana saja mereka berada.
Allah hendak memotivasi kaum Muhajirin bahwa sekiranya mereka berhijrah, Dia akan menjamin rezeki mereka lebih banyak, lebih luas, dan lebih baik. Dan dapat kita lihat bagaimana Allah telah menepati janji-Nya kepada orang-orang Muhajirin. Dalam waktu yang singkat saja mereka telah menjadi para pengu
Rezeki: Antara Ikhtiar dan Tawakal
Menurut Ibnu Faris, rezeki berarti pemberian Allah. Sementara penjelasan dari ar-Raghib, rezeki merupakan pemberian yang mengalir baik bersifat duniawi atau ukhrawi. Dapat juga kita artikan dengan bagian dan porsi yang sampai ketonggorokan, terolah atau kita jadikan makanan.
Allah menegaskan dalam ayat di atas, bahwa jaminan atas rezeki yang dikaruniakan kepada makhluk-Nya telah terjamin. Akan tetapi dalam ayat ini Allah menggunakan kata “dabbah” yang artinya binatang melata atau setiap makhluk yang bernyawa dan dapat bergerak. Hal tersebut mengandung makna, bahwa Allah menjamin rezeki kepada siapa yang bergerak dan bekerja. Bukan hanya diam pasrah menunggu datangnya rezeki.
Hamka juga menjelaskan pendapat serupa mengenai ayat ini di dalam kitab tafsirnya, bahwa Allah menjamin rezeki bagi setiap makhluknya, dan itu telah diwajibkan atas dirinya dalam bentuk karunia dan rahmat dari-Nya.
Namun, rezeki berhubungan erat dan tunduk kepada sunnatullah di alam ini yaitu keterkaitan sebab dan musabbab. Yaitu untuk mendapatkan rezeki selalu beriringan dengan usaha dan kerja, setelah adanya ilham yang Allah berikan kepada semua makhluk-Nya.
Sementara penjelasan dari Fakhruddin ar-Razi, di ayat sebelumnya (surah al-Ankabut: 59) Allah menyebutkan orang-orang yang bersabar dan bertawakal. Di ayat ini Allah mengabarkan sesuatu yang membantu menguatkan tawakal mereka, yaitu memberi ketenangan tentang jaminan rezeki kaum Muslimin dengam gambaran tentang hewan-hewan yang tidak menyimpan apapun untuk hari esok, dan setiap hari memberi mereka penghidupan yang nyaman.
Yaitu banyak dari binatang melata yang tidak sanggup mencari rezeki karena lemahnya fisik atau mereka tidak dapat mengumpulkan, mencari, serta menyimpan rezeki itu sedikit pun untuk hari esok.
Akan tetapi, Allah menetapkan rezeki untuk mereka sekalipun fisiknya lemah atau memudahkan rezeki itu sampai kepada mereka, dengan mengutus makhluk yang membawa rezeki tersebut untuk membantu serta mencukupi kebutuhannya, baik ia makhluk melata yang mendekam di dalam perut bumi, atau burung di udara, ataupun ikan di lautan.
Mengatasi Kekhawatiran Rezeki
Kekhawatiran tentang rezeki seringkali muncul karena seseorang merasa bahwa segala sesuatu tergantung pada usaha dan kemampuan dirinya sendiri. Ayat ini mengingatkan bahwa segala bentuk rezeki yang dikaruniakan kepada makhluk-Nya adalah anugerah dari Allah.
Jatah rezeki tersebut tidak akan habis kecuali telah habis pula jatah hidupnya. Artinya, tidak akan habis rezeki seseorang sebelum ia meninggal dunia. Rezeki yang Allah atur mencakup segala-galanya, mulai dari bentuknya, jumlahnya, asalnya, hingga penyimpanannya.
Sebagaimana redaksi ayat, “Allah-lah yang memberikan rezeki kepada mereka dan begitu pula kalian.” (Surah al-Ankabut: 60), yaitu baik bagi orang yang berusaha dan bertawakkal dalam rezekinya, orang yang hanya berharap dan berkecukupan, orang yang kuat maupun yang lemah. Karena itu, jangan sampai tertipu, orang kuat akan mendapatkan rezeki karena kekuatannya. Begitu pula orang yang lemah, akan terhalang dari rezeki karena kelemahannya.
Meskipun demikian, usaha memang sangat penting, seperti penjelasan sebelumnya bahwa bertawakal dapat mencukupkan rezeki. Dalam hal ini bukan hanya berserah diri sebagaimana Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan, yaitu dengan ikhtiar sesuai kemampuannya.
Allah telah Menjamin Rezeki
Terkadang, pemahaman keliru tentang ayat ini bisa muncul bahwa cukup dengan bertindak pasif, berdoa, rezeki akan datang tanpa usaha nyata. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan prinsip Islam yang mendorong umatnya untuk berusaha dengan maksimal.
Karena itu, kewajiban manusia hanyalah ikhtiar mencari, menerima, menyimpan, dan menggunakannya. Dalam ikhtiar mencari rezeki inilah, seseorang seharusnya bersunggung-sungguh secara lahir dan batin.
Walhasil, muslimin tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap rezeki dan kehidupan di masa yang akan datang. Segalanya telah diatur oleh-Nya dengan kadar yang cukup.
Allah telah menjamin rezeki kepada makhluk yang tidak mampu memikul rezekinya, maka tentu manusia yang lebih berdaya, akan mendapatkan bagiannya dengan cara yang sudah ditentukan-Nya. Wallah a’lam. []