Mubadalah.id – Dalam lingkungan pesantren salaf, terdapat pola-pola yang unik dalam membangun relasi santri putri dengan nyai. Nyai mendidik dengan keteladanan, melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konsep gender kita menyebutnya santri ibuism, yakni sebuah peran yang menempatkan nyai sebagai pemelihara, pelindung, pengasuh dalam berbagai aktivitas kepesantrenan sebagai bagian dari kewajiban, tanpa mengharapkan balasan.
Di sini, nyai merupakan “the symbolic mother” yang merawat, mengasuh dan mendidik para santrinya. Interaksi yang intens dalam keseharian itu telah membangun relasi santri dengan nyai seperti anak dengan ibu.
Di luar interaksi dengan nyai, aktivitas membantu urusan-urusan kepesantrenan membuat santri putri memiliki kesempatan berinteraksi dengan berbagai pihak.
Selain banyak mengikuti aktivitas nyai dalam kunjungan-kunjungannya ke luar pesantren, santri putri juga bisa leluasa berdiskusi para asatidz (para guru laki-laki) yang mengajar di pesantren putri. Bahkan mengikuti sejumlah kegiatan kepesantrenan di luar area pesantren hingga membantu pengajian di masyarakat.
Hal ini membuka banyak ruang kemungkinan bagi santri putri dalam melatih dan mengembangkan potensi diri dengan berinteraksi di ruang publik.
Dalam dunia kepesantrenan, pendidikan karakter atau pembangunan akhlakul karimah adalah hal yang utama. Nilai-nilai itu bukan sekedar jargon, akan tetapi merupakan sesuatu yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kesederhanaan, sikap menghargai, tawadhu, merupakan praktik keseharian yang membentuk karakter para santri.
Dengan kata lain, pesantren Babakan meletakkan dasar bagi terbentuknya potensi keulamaan perempuan pada aspek kediriannya.
Dalam konteks keteladanan ini, berkah atau barokah punya tempat penting dalam tradisi keilmuan pesantren. Seberapa besar pun usaha para santri untuk belajar, jika tanpa diiringi keberkahan kyai/nyai maka akan sia-sia.
Melalui interaksi santri putri dengan nyai, ia dapat merasai betapa penting aspek doa dan keberkahan ini bagi kesuksesan tranformasi nilai-nilai keulamaan di pesantren.
Hal ini tentu tak terlepas dari peran penting kitab pedoman para santri dalam menuntut ilmu, Ta’lim Muta’alim, sebagai kitab wajib di pesantren yang menempatkan posisi guru dan keridhoannya sebagai hal utama. []