“Menjauh dari Kristen, ayo!”
“dadah, Kristen.”
Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, tepatnya 8 Juni 2023, saya menemukan sebuah postingan reels di media sosial Instagram unggahan akun @galerikris10_. Dalam video tersebut memperlihatkan seorang anak laki-laki tengah bercerita tentang pengalamannya di sekolah.
Anak itu bilang, ia dibully oleh teman-temannya setelah mengatakan bahwa dirinya beragama Kristen. Ia mengaku mendapat olok-olok. Teman-temannya juga menjauh hanya karena ia memiliki agama yang berbeda. Sekilas, ini tampak seperti guyonan biasa. Namun hal tersebut menandai satu masalah serius, bahwa pendidikan kita memang masih jauh dari baik-baik saja.
Saya jadi ingat cerita salah seorang rekan lintas iman di Tulungagung. Ia mengungkapkan bahwa anak pertamanya yang notabene bersekolah di SD Negeri, sempat beberapa kali mengalami perundungan oleh rekan sesama murid di sekolah itu. Kalimat-kalimat menggunakan agama sebagi bahan candaan, sering dilontarkan dan lama kelamaan membuat anak rekan saya merasa minder.
Beberapa guru yang menyaksikan atau mendengar langsung candaan dan ejekan dari murid-muridnya, tidak ambil pusing dan seolah membiarkan hal tersebut. Merasa terasing dari teman sekelas, akhirnya anak rekan saya pun mengadukan pengalaman tidak menyenangkan yang ia peroleh ke orangtuanya. Pasca rekan saya datang ke sekolah untuk minta klarifikasi, baru hal tersebut mendapat tindak lanjut dari pihak sekolah.
Perundungan atau bullying memang bukan perkara baru. Pada setiap jenjang usia terutama anak-anak, seakan pernah mengalami hal tersebut. Bullying bisa terjadi di mana saja, di lingkungan tempat tinggal, di tempat bermain, bahkan lembaga pendidikan sekalipun. Pada kasus anak rekan saya dan video yang saya saksikan di media sosial awal Juni lalu, konteksnya adalah bullying berbasis agama atau religious bullying.
Dari Candaan Berujung Kebencian
Mengacu definisi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A), bullying di sekolah merupakan bagian dari perilaku agresif yang terjadi secara berulang, oleh seseorang atau sekelompok siswa kepada siswa lain, dengan tujuan menyakiti.
Menurut Unicef, bullying bukan bagian dari insiden yang terjadi tanpa unsur kesengajaan, melainkan pola perilaku. Anak-anak yang melakukan bullying kepada temannya, merasa memiliki kuasa dan menganggap orang lain lemah, baik dalam aspek fisik maupun status sosial. Bentuk bullying pun beragam, mulai dari pelecehan verbal sampai kekerasan fisik.
Dalam konteks religious bullying sasarannya lebih spesifik, yakni keyakinan beragama seseorang. Siswa dengan latar belakang agama mayoritas secara kuantitas merasa berhak mengejek, melecehkan atau melakukan tindakan perisakan terhadap siswa yang berasal dari agama lain.
Sampai hari ini, religious bullying juga masih kerap terjadi dan menjelma momok di lembaga pendidikan di Indonesia. Alasan utama bullying sulit hilang adalah anggapan bahwa hal tersebut wajar, hanya candaan sepintas lalu, dan tidak akan berdampak pada mental serta harga diri orang yang dirisak.
Padahal sebaliknya, bullying berbasis agama adalah persoalan serius yang harus segera mendapat penanganan. Tidak sekadar berdampak pada kesehatan mental anak, tetapi lebih jauh bisa menanamkan sikap intoleransi sejak dini. Selain itu, bullying juga menyebabkan ketidakpercayaan pada lingkungan sosial, dan bisa jadi di kemudian hari dapat menyulut kebencian terhadap kelompok tertentu.
Pentingnya Menanamkan Kesalingan Sejak Dini
Anak-anak yang melakukan religious bullying tidak hanya memiliki anggapan bahwa agama bisa menjadi bahan candaan, tetapi ada agama yang kuat atau paling benar, dan ada agama yang lemah dan salah. Hal tersebut tentu tidak lepas dari penanaman cara pandang pada anak-anak mengenai agama. Baik cara pandang dari orangtua ketika di rumah, maupun ketika berada di lingkungan sekolah.
Orangtua punya peran penting dalam memberikan contoh dan pemahaman kepada anak, mengenai toleransi antar sesama manusia, tanpa memandang suku, ras, maupun agama. Dengan menanamkan empati, membiasakan anak untuk saling menghormati antar sesama dan menghargai perbedaan, bisa mengurai benang kusut yang membuat bullying tumbuh subur.
Pembelajaran agama di sekolah umum seharusnya juga bisa mencegah terjadinya intimidasi dan perisakan atas nama agama. Kebijakan yang ada di tataran sekolah, perlu diubah menjadi lebih inklusif. Di mana guru dan seluruh warga sekolah saling bekerjasama menciptakan ruang yang nyaman, aman, dan bersahabat bagi siswa.
Upaya Memutus Religious Bullying
Ada beberapa upaya untuk memutus ketimpangan yang mengakibatkan religious bullying terjadi. Di antaranya mengajak siswa untuk saling mendialogkan perbedaan dengan cara yang ramah dan santun dan memberikan pemahaman tentang moderasi beragama.
Selain itu penting menanamkan kesalingtergantungan antar sesama, sekaligus mengimplementasikan bentuk-bentuk kesalingan tersebut dalam laku hidup sehari-hari. Bisa dalam bentuk kerja kelompok, saling berkunjung pada peringatan hari besar, menghormati cara peribadatan yang berbeda, dan sebagainya.
Saya yakin di dalam ajaran setiap agama yang ada di Indonesia, tidak ada satu pun yang mengajarkan tentang kekerasan. Sebagian besar agama yang saya ketahui, senantiasa mengajarkan cinta kasih, penghormatan atas kemanusiaan, kedamaian, dan persaudaraan. Pun dalam Islam, sebagaimana paparan Kiai Faqih (2022), Nabi Muhammad Saw sendiri telah bersaksi bahwa tiap-tiap manusia di muka bumi ini adalah saudara.
Artinya, sebagai sesama saudara sudah seharusnya kita saling menghormati. Hal yang sama perlu ada pada diri anak-anak sejak dini, agar di kemudian hari mereka bisa tumbuh sebagai pribadi yang penuh cinta kasih, menjunjung tinggi persaudaraan dan toleransi, serta tidak gampang memberikan judgement pada orang yang berbeda atas nama agama. []