Mubadalah.id – Reshuffle kabinet selalu menjadi drama politik yang ditunggu publik. Nama-nama baru bermunculan, wajah lama ada yang dipertahankan, sebagian lainnya tersisih. Namun, di balik dinamika politik yang ramai menjadi pembicaraan, ada satu catatan yang terasa mengganjal. Semakin sedikitnya perempuan yang menempati posisi strategis dalam lingkar kekuasaan.
Keluarnya Sri Mulyani dari kursi Menteri Keuangan adalah simbol besar dari kenyataan itu. Ia bukan sekadar menteri biasa, melainkan figur perempuan dengan kapasitas luar biasa yang mampu menjaga stabilitas fiskal negara dalam berbagai situasi sulit.
Maka, absennya beliau tidak hanya menandai perubahan teknis di sektor keuangan, tetapi juga menyisakan pertanyaan mendasar. Apakah ruang politik bagi perempuan masih dianggap sekadar pelengkap?
Bu Sri Mulyani: Figur Kompeten di Tengah Tekanan Politik
Sri Mulyani telah lama terkenal oleh publik, baik nasional maupun internasional. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia, dan namanya berkali-kali masuk dalam jajaran perempuan paling berpengaruh di dunia versi Forbes. Di dalam negeri, kiprahnya dalam menjaga ketahanan ekonomi di tengah pandemi adalah bukti nyata bahwa kompetensi tidak mengenal jenis kelamin.
Namun, dalam pusaran politik, posisi perempuan selalu rentan. Pergeseran jabatan seringkali tidak hanya soal kinerja, melainkan juga pertimbangan politik yang lebih besar. Di titik ini, kepergian Sri Mulyani tidak bisa kita pandang semata-mata sebagai pergantian teknokratis, melainkan juga kemunduran dalam representasi perempuan.
Perempuan yang Kian Menyempit di Kabinet
Sejarah menunjukkan bahwa jumlah perempuan dalam kabinet Indonesia tidak pernah stabil. Kadang meningkat, kadang menurun, dan dalam reshuffle kabinet terakhir tren itu kembali mengalami kemunduran. Padahal, kehadiran perempuan bukanlah persoalan kuota semata. Kehadiran mereka membawa warna berbeda dalam kebijakan yang lahir, karena perempuan memiliki pengalaman yang khas dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kebijakan kesehatan, misalnya, ketika perempuan berada di posisi pengambil keputusan akan lebih memperhatikan layanan bagi ibu dan anak. Begitu juga dengan isu pekerja migran, yang mayoritas berjenis kelamin perempuan, sangat membutuhkan sensitivitas gender agar perlindungan hukum dan sosial lebih memadai.
Bahkan dalam urusan ekonomi, pengalaman perempuan dalam mengelola rumah tangga dan mendidik anak bisa memperkaya perspektif fiskal maupun kebijakan sosial. Tanpa keterlibatan perempuan, hal-hal yang sangat konkrit ini berpotensi diabaikan.
Perspektif Islam: Kebersamaan dalam Kepemimpinan
Islam memandang laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar dalam menjalankan kehidupan. Hal ini ditegaskan dalam QS. At-Taubah [9]:71 yang menyatakan bahwa orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.
Ayat ini menegaskan bahwa kontribusi perempuan dalam ruang sosial dan politik bukanlah pengecualian, melainkan bagian dari amanah keimanan yang sama dengan laki-laki.
Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Perempuan adalah saudara kandung laki-laki” (HR. Abu Dawud). Pesan ini menegaskan prinsip kesalingan atau mubadalah, bahwa laki-laki dan perempuan bukanlah dua entitas yang saling meniadakan, melainkan dua pihak yang saling melengkapi. Karena itu, keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan politik adalah wujud dari kesalingan itu sendiri.
Dari Simbol Menuju Substansi
Keberadaan perempuan dalam kabinet seringkali masih kita pandang sebagai simbol keterwakilan. Padahal, yang lebih penting adalah substansi, yakni bagaimana kehadiran mereka benar-benar memengaruhi arah kebijakan negara. Kehadiran Sri Mulyani, misalnya, menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya hadir untuk melengkapi, melainkan dapat menjadi aktor kunci dalam menjaga ekonomi nasional.
Namun, ketika jumlah perempuan semakin berkurang, pesan yang muncul justru sebaliknya. Perempuan kembali dipandang tidak terlalu penting dalam lingkar kekuasaan. Di sinilah letak persoalan besar. Bagaimana bangsa ini bisa sungguh-sungguh mengakui pentingnya keberagaman perspektif dalam kepemimpinan jika representasi perempuan terus dikesampingkan?
Mengingatkan Tanpa Menghakimi
Dalam kerangka Mubadalah, reshuffle kabinet kali ini bukan untuk kita hakimi semata, melainkan untuk kita jadikan bahan renungan bersama. Perempuan dan laki-laki terpanggil untuk menjadi mitra sejajar dalam mengelola bangsa. Maka, kekurangan representasi perempuan di kabinet adalah sebuah alarm bahwa bangsa ini sedang berjalan pincang, kehilangan separuh daya pikir dan empatinya.
Kita tidak bisa membiarkan keterwakilan perempuan hanya bergantung pada satu-dua sosok ikonik seperti Sri Mulyani. Harus ada upaya serius dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa perempuan punya ruang yang layak dalam setiap lingkar kekuasaan.
Karena tanpa perempuan di lingkar strategis, Indonesia berisiko kehilangan setengah dari kekuatan akal sehat, nurani, dan kebijaksanaannya. []