Mubadalah.id – Tantangan global yang kompleks dan penuh ketidakpastian, satu isu yang krusial dan mendesak perhatian dunia yakni menyoal ‘air.’ Krisis air bukan hanya menyoal isu lingkungan atau infrastruktur—melainkan menyangkut urusan isu keadilan ekologis, hak asasi manusia, dan stabilitas global.
Dalam pusaran krisis air yang jarang menjadi fokus dalam geopolitik global—perlunya kehadiran tokoh-tokoh hadir untuk menempatkan isu air menjadi perjuangan diplomasi global. Sejumlah deretan diplomat Indonesia yang berkiprah di panggung internasional, ada nama Retno Marsudi. Dia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia perempuan pertama dalam sejarah Republik mampu menembus sekat-sekat diplomasi konvensional.
Ia tak hanya terkenal sebagai diplomat tangguh dalam menyuarakan kemanusiaan di Palestina dan multilateralisme. Tetapi juga menapakkan perjuangannya sebagai pengusung agenda keadilan ekologi—khususnya dalam isu air di forum internasional, termasuk PBB.
Di tengah krisis lingkungan yang akut dan tidak bisa kita pandang sebagai isu pinggiran, peran Retno Marsudi menunjukkan transformasi penting. Dari diplomat negara menjadi pejuang keadilan ekologi—khususnya dalam isu air.
Retno Marsudi: Perjuangan Diplomasi Global Mengawal Isu Air
Mengutip dari United Nations, lebih dari dua miliar orang hidup di negara-negara tidak memiliki akses ke air minum yang aman. Bahkan mengalami kelangkaan air. Perubahan iklim dapat memperparah kondisi tersebut, memicu konflik agraria, perpindahan penduduk, bahkan ketegangan antarnegara. Kelangkaan air bukan hanya menyasar daerah tandus, melainkan wilayah agraris, perkotaan hingga pesisir yang terdampak intrusi air laut.
Berkaca pada konteks geopolitik, air menjadi sumber konflik baru. Sungai Nil, Efrat-Tigris, hingga Sungai Yordan adalah contoh klasik bagaimana air menjadi komoditas yang diperebutkan dalam lanskap politik dan diplomasi.
Krisis air bukan soal sanitasi atau infrastruktur. Ia bicara soal politik, keamanan dan keadilan global. Misalnya, menyoal distribusi yang adil, kontrol terhadap sumber daya, dan hak warga atas akses air bersih. Di mana ini menyangkut keadilan ekologis dan hak hidup manusia. Diberbagai belahan dunia, konflik air meningkat tajam—baik secara langsung maupun tidak langsung.
Air menjadi komoditas yang diperebutkan, sumber konflik lintas negara bahkan sekaligus sebagai faktor pembentuk ketimpangan sosial. Diplomasi air menjadi medan perjuangan baru dalam keadilan ekologis. Retno Marsudi merupakan tokoh perempuan di antara sedikit tokoh dari Global South yang lantang menyuarakan.
Mengawal Isu Politik Global
Selama menjabat sebagai Menlu RI sejak 2014, Retno Marsudi terkenal secara luas dalam mengawal isu seperti Palestina, Afghanistan, krisis Myanmar, serta penguatan multilateralisme di tengah fragmentasi global. Beberapa tahun terakhir sejak Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan Presidensi G20, ia mulai menempatkan isu air, energi dan pangan sebagai pilar penting dari diplomasi Indonesia.
Dalam berbagai forum PBB—termasuk di Majelis Umum dan Dewan HAM, Retno menyampaikan bahwa akses terhadap air bersih bukan sekadar isu pembangunan, melainkan hak asasi manusia. Retno secara konsisten menyuarakan pentingnya penguatan kerja sama global dalam menghadapi triple planetary crisis. Perubahan iklim, kerusakan alam, dan polusi—yang semua bermuara pada ketersediaan air.
Posisinya tentu melampaui kepentingan diplomatik jangka pendek dan menunjukkan pemahaman mendalam akan keterkaitan antara lingkungan, kemanusiaan dan ketimpangan global. Di saat negara maju memperlakukan air sebagai komoditas bisnis, Retno hadir di sisi negara-negara kecil dan komunitas termarjinalkan—yang setiap hari berjuang untuk bertahan hidup karena krisis air.
Dalam artian bahwa Retno bukan hanya sekadar menyampaikan pidato normatif, namun ia memposisikan secara tegas bahwa air merupakan hak dasar yang tak boleh kita komersialisasi secara eksploitatif, apalagi terkuasai oleh korporasi global tanpa kontrol publik.
Perempuan, Indonesia dan Air sebagai Keadilan Ekologis
Perlu kita pahami bersama, air dan perempuan mempunyai konektivitas sosial yang kuat—terutama di negara-negara Global South. Banyak wilayah, perempuan sebagai aktor utama dalam pengelolaan air di tingkat rumah tangga, pertanian dan komunitas. Namun juga rentan di saat terjadi krisis air: meningkatnya beban kerja domestik hingga ancaman kekerasan saat mencari air di wilayah konflik.
Retno, sebagai Menlu perempuan pertama, membawa sensitivitas gender dalam kerangka diplomasi. Sejumlah forum, ia menyuarakan pentingnya inklusi perempuan dalam pengambilan keputusan soal sumber daya alam, termasuk air. Diplomasi yang ia gagas memberikan ruang secara luas bahwa air bukan hanya infrastruktur teknis atau kerjasama ekonomi, melainkan soal keadilan sosial, akses setara dan perlindungan kelompok rentan.
Retno menyadari bahwa diplomasi modern tak dapat kita lepaskan dari perjuangan untuk keadilan ekologis. Ia berupaya menghubungkan dalam kepiawaian negosiasi dengan keberanian moral untuk menyuarakan benar. Bahkan di saat tidak populer, sejumlah negara diam atas krisis air di Gaza menjadi senjata politik oleh kekuatan pendudukan.
Retno menyampaikan secara terbuka mengecam tindakan yang menempatkan akses air sebagai alat penindasan. Dalam hal ini, Indonesia melalui suaranya, bukan hanya sebagai negara yang hadir menyampaikan simpatik, melainkan sebagai aktor membawa pesan kemanusiaan dalam diplomasi.
Keberanian Menyuarakan Isu Keadilan Ekologi
Sikap yang Retno ambil bukan agenda individual, melainkan representasi dari arah baru politik luar negeri Indonesia yang lebih berani, etis dan relevan dengan tantangan zaman. Situasi multilateralisme Retno pertanyakan dengan menunjukkan bahwa forum global seperti PBB penting—selama terisi dengan suara moral yang konsisten.
Di tengah kebangkitan nasionalisme sempit dan politik transaksional antarnegara, keberanian menyuarakan isu seperti keadilan ekologi menjadi sinyal penting bahwa ruang idealisme masih ada dalam diplomasi. Apalagi Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam mengawal isu lingkungan dan keadilan global.
Sebagai negara kepulauan terbesar yang rentan terhadap krisis iklim—Indonesia mempunyai otoritas moral dalam menyuarakan keadilan ekologi di PBB. Indonesia melalui Retno, mendukung upaya internasional dalam mendorong pengakuan air sebagai hak asasi manusia yang diakui Majelis Umum PBB sejak 2010. Namun pelaksanaannya jauh dari ideal.
Banyak negara berkembang menghadapi privatisasi sumber daya air oleh korporasi multinasional, lemahnya regulasi dan ketimpangan teknologi. Dalam situasi ini, Retno dapat membawa Indonesia (representasi Global South) mendesak pembentukan tata kelola air global yang adil, partisipatif, dan berbasis solidaritas. Ia tidak terjebak dalam diplomasi teknokratik, melainkan mengusung narasi keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan air lintas batas.
Dari Isu Air ke Diplomasi Ekologi Global
Isu Air seyogyanya masuk dalam ruang lingkup demokrasi sumber daya. Dunia tidak hanya kekurangan air secara absolut, melainkan distribusi yang timpang telah menciptakan jutaan tragedi sunyi. Anak-anak kehilangan masa depan karena dehidrasi kronis, hingga petani kecil yang kehilangan lahan karena air teralirkan ke industri besar.
Dunia yang terkonstruksi oleh logika pasar, air menjadi komoditas bernilai tinggi. Sementara kelompok miskin tak diberi akses memadai untuk mengelola sumber daya yang seharusnya menjadi milik bersama. Konteks ini menggambarkan bahwa diplomasi air menjadi ladang perjuangan global yang tak kalah penting dari diplomasi senjata atau perdagangan.
Isu air menjadi pintu masuk menuju diplomasi ekologi global—yang relevan di tengah pergeseran perhatian dunia dari konflik bersenjata ke krisis iklim dan sumber daya. Ia mengusulkan ke meja global bukan usulan teknokratik, melainkan sebagai agenda keadilan. Retno berperan besar sebagai diplomat senior dan perempuan Muslim dari negara demokrasi dengan penduduk besar di Asia, berpeluang memainkan peran lebih besar dalam perumusan norma internasional yang progresif.
Tata Kelola Air yang Berkelanjutan
Negara-negara berkembang layaknya untuk mendapat dukungan dalam membangun tata kelola air yang berkelanjutan dan inklusif. Retno menyoroti pentingnya “common but differentiated responsibilities” dalam isu lingkungan—termasuk pengelolaan air lintas batas. Negara dengan kapasitas dan sejarah eksploitasi lingkungan lebih besar—katanya, harus memikul tanggungjawab lebih besar pula dalam penyelesaian krisis.
Di tengah dunia mengalami krisis kepercayaan terhadap lembaga global, kekuatan besar lebih sibuk memperkuat aliansi militer dan ekonomi, dunia membutuhkan suara alternatif untuk menyuarakan keadilan, bukan dominasi. Indonesia, lewat Retno, mempunyai kapasitas sebagai pelopor diplomasi lingkungan hidup yang adil berbasis solidaritas.
Langkah nyata seorang Retno adalah mendorong Indonesia terlibat aktif dalam pertemuan menyangkut isu air di forum multilateral—Konferensi Air PBB, Asia-Pasific Water Forum hingga pertemuan G20. Konteks ini tidak hanya menyuarakan pengalaman Indonesia, melainkan membawa aspirasi Global South yang terpinggirkan dalam diskursus global. Ia memperjuangkan kerjasama Global South sebagai alternatif solidaritas ekologis—bukan semata bergantung pada pendanaan utara global yang disertai dengan syarat politis.
Penutup: Diplomasi Kemanusiaan dan Ekologis
Retno Marsudi, seorang perempuan mampu membuktikan bahwa diplomasi bukan hanya menjaga kepentingan nasional, melainkan memperjuangkan kepentingan global yang berkeadilan. Langkah yang diambil Retno telah membuka jalan bahwa diplomasi tidak terpaku agenda konvensional. Isu air, ia membawa pendekatan multidimensi: dari ekologi, gender hingga geopolitik.
Ia menunjukkan bahwa diplomat Indonesia bisa tampil sebagai pejuang keadilan ekologis ditengah dunia terpolarisasi. Dunia dipenuhi suara bising kekuasaan dan dominasi, diplomasi membawa air sebagai hak hidup dan keadilan ekologis merupakan suara yang menyembuhkan.
Retno, mengakhiri jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri, warisan penting bukan kunjungan kenegaraan atau pencapaian ekonomi luar negeri—melainkan keberaniannya menempatkan Indonesia sebagai suara moral dalam mengawal isu-isu kemanusiaan.
Dunia yang semakin kering secara literal dan simbolik—Retno dengan jejak rekam dan visi panjangnya, menunjukkan Indonesia tidak hanya bicara, melainkan bergerak secara jernih dan berpihak pada kemanusiaan dan keadilan ekologis. []