Mubadalah.id – Enam tahun berselang dari film pertamanya, Cek Toko Sebelah 2 kembali hadir dengan drama keluarga. Kali ini kisah keluarga Koh Afuk (Chew Kin Wah) berfokus pada hubungannya dengan kedua putra, Yohan (Dion Wiyoko) dan Erwin (Ernest Prakasa).
Berbeda dengan film pertamanya yang memotret konflik ayah dan anak dalam mewarisi bisnis keluarga, kini Koh Afuk yang tak lagi memaksa Erwin untuk mengurus toko, memiliki keinginan baru: ia amat mengharapkan cucu dari Yohan dan Ayu (Adinia Wirasti).
Apalagi ia yang tak lagi membuka toko, kerap mendapati koleganya yang terlihat senang akan kehadiran banyak cucu. Bagi Koh Afuk yang memiliki waktu lengang, kehadiran cucu sepertinya akan membawa hiburan baru dan kebahagiaan yang lebih baginya.
Perspektif ini ternyata dipandang berbeda oleh anak dan menantunya, meski bukan pasangan baru, Ayu terutama belum siap hamil dan melahirkan. Namun, keengganan Ayu memiliki anak tersebut sulit ia ungkapkan kepada sang suami yang ingin memenuhi keinginan ayahnya.
Menghadapi Konflik dan Masalah Keluarga
Selain konflik dari keluarga Yohan, Cek Toko Sebelah 2 juga menghadirkan dilema baru dari Erwin yang ingin menikahi tambatan hatinya, Natalie (Laura Basuki). Natalie yang lahir sebagai anak tunggal dari keluarga kaya, tidak pernah mempermasalahkan Erwin dan kesederhanaannya. Namun, ketika mereka berencana menikah, ia berhadapan dengan ibu Natalie yang sangat protektif.
Bahkan saat mengungkapkan niatnya untuk menuju ke jenjang yang lebih serius, Erwin dicecar banyak pertanyaan oleh ibu Natalie, Agnes. Di mana Maya Hasan memerankannya secara apik. Pertanyaan yang Agnes lontarkan, menurut Erwin, bukan sekadar ingin mengetahui informasi.
Tapi mengandung keraguan bahwa Erwin adalah sosok yang tepat bagi putri semata wayangnya Agnes. Kekhawatiran ibu Natalie tersebut memang sempat membuat Erwin jiper, tapi ia tetap yakin bahwa Natalie adalah perempuan yang cocok dengannya. Oleh karena itu, ia tak lantas mundur.
Erwin kemudian mendiskusikan problematikanya kepada Koh Afuk dan abangnya, Yohan. Bagi Koh Afuk dan Yohan, Erwin tak perlu sakit hati. Justru ia hanya perlu menjadi diri sendiri dan meyakinkan ibu Natalie bahwa ia adalah orang yang bertanggungjawab. Terlebih, Erwin dan Natalie sudah mengenal satu sama lain selama kurang lebih dua tahun. Oleh karena itu, Yohan dan Koh Afuk yakin bahwa Erwin tak boleh menyerah begitu saja.
Konflik Sosial Politik dan Relasi Orangtua-Anak
Hubungan orangtua dan anak yang tergambarkan dalam Film Cek Toko Sebelah 2 sebenarnya banyak masyarakat kita alami. Perspektif cucu sebagai hiburan orangtua di masa pensiun tampaknya sudah kita pandang lumrah dan seperti menjadi hal yang harus terpenuhi oleh setiap pasangan.
Yang menarik, sudut pandang ini coba diperluas oleh cerita Yohan dan Ayu. Kisah mereka seakan membuka mata bahwa di balik kelucuan dan kelincahan buah hati, ada tanggungjawab besar yang perlu orangtuanya emban.
Perasaan tanggung jawab inilah yang kemudian dalam satu sisi bisa menimbulkan sikap proteksi berlebihan, seperti yang Agnes perlihatkan kepada anaknya, Natalie. Selain karena kasih sayang dan juga ekspektasi besar dari orangtua ke anak. Di berbagai belahan dunia, sikap over protektif ini ternyata ada yang berakar dari trauma konflik sosial politik.
Menyembuhkan Luka Melalui Seni
Di Indonesia, trauma peristiwa 1965 menyisakan kekhawatiran berlebihan dari satu generasi ke generasi lain oleh kelompok penyintas. Gita Laras, salah satu korban yang ayahnya tertangkap oleh pihak berwajib menceritakan bagaimana keluarganya kemudian menjadi sangat tertutup. Hingga ia akhirnya mencoba menyembuhkan luka lewat karya seni.
Pada kasus lain, yakni penjarahan toko-toko dan bisnis milik peranakan Tiongkok saat peralihan sistem orde baru ke era reformasi membuat orangtua keturunan China berhati-hati untuk bergaul dengan kaum pribumi. Bahkan, dalam sejumlah kamus orangtua Peranakan China, pernikahan antar etnis menjadi amat tabu.
Sebelas dua belas dengan kasus-kasus tadi, konflik di daerah timur seperti Poso dan Ambon juga berdampak negatif pada relasi sosial antar suku dan agama (Schulze, 2017). Meski kondisinya kini telah membaik, namun masyarakat masih mencoba mengobati trauma. Sehingga, beberapa kali kita dapati bahwa orangtua di sana jauh lebih sensitif terhadap hubungan pertemanan anak mereka, termasuk ketika menjalin kasih dengan individu dari suku yang berbeda. (Bebarengan)