Judul Film : Tamborine
Tokoh : Chris Rock
Genre : Stand Up Comedy
Sutradara : Bo Burnham
Tayang Perdana : Netflix, 2018.
“Tamborine” merupakan judul komedi spesial dari Chris Rock. Namun sebelum mengulas komedi spesialnya, mari kita ketahui terlebih dahulu bagaimana kredibilitas seorang Chris Rock.
Ia bernama lengkap Christopher Julius Rock. Lahir di Caroline Selatan pada 7 Februari 1965. Dia pernah menjadi pembawa acara Oscar dua kali, memenangkan Emmy Award empat kali, dan membawa pulang Grammy Award tiga kali. Selain itu, ia juga merupakan salah satu komedian paling berpengaruh yang masih hidup sampai sekarang.
Setelah sempat beristirahat dari dunia komedi selama 10 tahun, Rock kembali lagi dengan komedi khusus yang dimotori langsung oleh Netflix. Rock kali ini telah berubah. Atau mungkin sudah lebih berkembang—tidak sebagai seorang komedian, namun sebagai seorang pria paruh baya.
Dengan kaos dan jeansnya, komedian yang berusia 55 tahun ini menghabiskan sebagian besar waktu ‘Tamborine’ untuk merenungkan beberapa “nilai-nilai sosial” yang ia pelajari selama 10 tahun terakhir—lebih-lebih mengenai perceraiannya dengan istrinya, Malaak Compton-Rock, pada tahun 2014.
Rock suka membuat penontonnya tegang. Selama Tamborine, dia bersikap seperti seorang yang tahu benar bahwa para penontonnya begitu bergantung pada kata-kata yang dapat menghasut dan penuh propaganda, bahkan ia sampai menggoda penontonnya dengan mengatakan: “Ya, saya mengatakannya!” di dua kesempatan.
Topik komedi yang dipilih Rock dalam “Tamborine” tidak jauh dari topik-topik yang umum diangkat oleh para kritikus terkenal, seperti sistem peradilan Amerika, perceraian, perundungan (buli) di sekolah, dan agama, semua ia kemas menjadi komedi yang sangat menarik dan penuh satire.
Namun, secara khusus sebenarnya hanya dua bagian topik saja yang dapat kita ambil dari penampilannya kali ini; pertama, bagaimana kritik sosialnya tentang ketidaksetaraan ras, politik, agama, ekonomi, dan juga tentang bagaimana kehidupan generasi sekarang; kedua, refleksi atas perceraiannya dengan mantan istrinya, yang mana dengan nada yang sedikit canggung ia menyalahkan dirinya sendiri.
“Aku mengacaukannya,” katanya, seringai menghilang. “Perceraian. Ini salahku. Saya selingkuh dan tidur dengan tiga wanita berbeda, karena saya adalah laki-laki bajingan. Saya bukan seorang suami yang baik. Saya juga tidak pernah menjadi pendengar yang baik.”
Dengan perceraian sebagai tema utama kali ini, banyak materi komedinya yang akhirnya jatuh ke dalam lingkaran kiat hidup bagaimana menjalani sebuah hubungan yang baik dengan penuh harapan. Berkaca pada hal tersebut, ia mengingatkan kepada penontonnya agar berhenti mengejar hal-hal lain hanya untuk memenuhi ego pribadi seperti yang dahulu ia lakukan. Ia menunjukkan penyesalannya bahwa hal tersebut membuat pernikahannya tidak berjalan baik dan akhirnya rusak.
“Ketika pria selingkuh, itu karena kami menginginkan sesuatu yang baru. Namun, Anda tahu apa yang kemudian terjadi? Istri Anda akhirnya tahu bahwa Anda selingkuh, dan sekarang, dia berubah menjadi orang yang sama sekali baru—dan ia tidak akan pernah sama lagi.” Ucapnya.
Dia tidak pernah menghindar untuk memberikan pendapatnya tentang mengapa pria kerap menipu wanita, dan di sini, dia mengungkapkan bagaimana ia dahulu pernah terjebak dalam kubangan perselingkuhan dan bahkan kecanduan pornografi, yang kemudian membuatnya tidak peduli lagi pada istri atau perasaannya sendiri.
Ia berkata di salah satu sesi Tamborine bahwa “Tidak ada persamaan dalam sebuah hubungan, Bung. Anda dan istri Anda berada dalam hubungan tersebut tak lain hanya untuk melayani,” ujarnya. Ia menyamakan pernikahan dengan sebuah band, bahwa “Terkadang Anda menjadi penyanyi, dan terkadang Anda harus bermain tamborine (rebana).” Dengan menganalogikan hubungan seperti sebuah band, ia berkata bahwa selama ini “Saya tidak memainkan rebanaku dengan baik.”
Selain itu, Rock juga mengingatkan generasi milenial dan anak-anak bahwa mereka sama sekali tidak seistimewa seperti apa yang orang tua mereka sering katakan. Karena menurutnya, adalah keliru jika kita terus menumbuhkan rasa bangga seorang anak bahwa mereka istimewa; Ini justru membuat anak-anak menjadi lemah dan tidak siap dengan kehidupan.
Di saat yang sama, dengan nada humoris, Rock mengatakan bahwa “Sebagai orang tua Amerika dari anak kulit hitam, saya harus mempersiapkan anak-anak saya untuk orang kulit putih.” Hal tersebut guna agar anak-anaknya dapat membiasakan dirinya dengan diskriminasi dan rasisme yang kelak akan mereka hadapi saat dewasa nanti:
“Saya telah mempersiapkan anak-anakku untuk orang kulit putih sejak mereka lahir. Bahkan sebelum mereka lahir aku telah mempersiapkan mereka untuk itu. Di rumahku, tidak ada pelatihan pemadam kebakaran, kami punya pelatihan peralatan kulit putih. Jadi, semua yang ada di rumahku itu berwarna putih, entah itu berat, panas, atau tajam. Ini supaya anakku tahu, ketika berurusan dengan segala sesuatu yang berwarna putih, mereka harus memikirkan omong kosong itu.”
Ada rasa sakit yang mencekam dalam lelucon di dalam komedi spesialnya ini. Namun bagaimana pun, jenis komedi seperti ini sangat dibutuhkan, terutama di era di mana informasi begitu mudah diakses. Kita membutuhkan komedian seperti Chris Rock untuk terus mempublikasikan dan mengambil sikap tentang masalah orang-orang kulit hitam untuk mendorong setiap orang, terutama Amerika menuju dunia yang lebih menjunjung kesetaraan dan kesamaan hak.
Sebagian besar isi dari komedinya kali ini datang dengan penuh nasihat hidup yang dibungkus dengan penuh humoris. “Love hard or get the fuck out” menjadi mantra di tengah-tengah “Tamborine”.
Namun tak perlu ragu, bagaimana pun Rock tidak memaksa kita, dan juga tidak pernah benar-benar mengaburkan batas antara stand up dan motivasi. Entah dia berbicara tentang Trump, pernikahan, atau perceraian, Rock tidak pernah melupakan identitasnya sebagai seorang komedian ulung—bahkan ketika dia membagikan ceritanya yang cukup menginspirasi dan melankolis tersebut.
Terlepas dari itu, Rock bagi saya adalah seorang komedian yang unik. Ia tidak terus menerus berkubang dalam kesedihan dan penyesalan yang ia alami. Kisah tragisnya tersebut ia ubah menjadi sebuah komedi spesial yang hebat, tepat pada waktunya: di Hari Valentine. []