“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit,”
Pernyataan ini disampaikan oleh Marwan Dasopang Wakil Ketua Komisi VIII, pada Selasa (30/06/2020),dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR. (sumber: kompas.com). Benarkah RUU PKS sulit? Atau hanya menjadi alibi saja agar tidak perlu melakukan pembahasan yang rumit? Atau ada kemungkinan memang ingin melanggengkan tindak kekerasan seksual di masyarakat yang kian beragam?
Tindakan DPR yang mengusulkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 ini tentu akan mengundang banyak pertanyaan dan sikap tidak terima dari berbagai kalangan terlebih bagi kita yang sudah memperjuangkan agar RUU PKS ini segera disahkan.
Sebenarnya apa sih, dari pembahasan RUU PKS yang sulit? Padahal Komnas Perempuan sejak tahun 2012 telah melakukan penelitian terkait Kekerasan Seksual ini serta melakukan upaya agar segera memperoleh payung hukum dalam penanganan kasusnya.
Menurut catatan Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (KSTP) terbagi menjadi 15 jenis. Mulai dari intimidasi, eksploitasi, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan kehamilan, bentuk tradisi yang merugikan perempuan, perbudakan, kontrol seksual, dan beberapa jenis lainnya.
Ke-15 jenis kekerasan seksual ini lah yang diatur dalam RUU PKS untuk memberikan keadilan kepada perempuan yang cenderung menjadi korban. Selain itu di dalamnya terdapat pengaturan terkait hak korban atas perlindungan, penanganan, dan pemulihan.
Sejarah panjang dari perjuangan terkait pengusulan RUU ini, menjadi bagian dari pembahasan awal di prolegnas pada awal 2015, dan baru ditahun 2016 naskah akademis diserahkan sebagai pertimbangan rapat Baleg Nasional. Dan ditahun 2018 DPR sendiri menunjuk Komisi VIII sebagai panitia kerja (panja). Dan hingga detik ini belum kunjung disahkan, bahkan terancam dikeluarkan dari prolegnas 2020, untuk dibahas kembali di 2021.
Urgensi RUU PKS
Seakan-akan menjadi RUU yang tidak terlalu diprioritaskan, pambahasan RUU PKS ini selalu tak pernah mencapai kata ‘sah’ dan kerap kali ditunda. Padahal kehadiran RUU ini sangat penting. Salah satu diantaranya untuk melengkapi dan menutupi kekurangan dari produk hukum sebelumnya, KUHP yang sebatas mencakup perkosaan dan pencabulan, serta UU No. 7 th. 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Selain itu, urgensi dari disahkannya RUU PKS ini adalah benar-benar menjamin perlindungan penuh terhadap perempuan korban kekerasan seksual, yang cenderung justru terpojokkan dan memperoleh diskriminasi double baik dari aparat hukum maupun masyarakat. Dengan disahkannya RUU ini akan menjadi bagian refleksi bersama seluruh elemen masyarakat, bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan perlu untuk memperoleh jaminan penuh dari negara melalui payung hukum yang resmi.
Perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual menjadi tugas bersama seluruh elemen. Terlebih pemerintah yang dapat mengelurakan kebijakan secara resmi terkait ini. Terlepas dari itu semua, sudah seharusnya DPR tidak lagi mempermasalahkan pembahasan substansi RUU yang sulit.
Karena pada dasarnya pembahasan terkait hal-hal mendasar dari RUU ini telah disiapkan beberapa tahun yang lalu. Sudah seharusnya, tuntutan untuk kemaslahatan bersama ini menjadi prioritas penting. Agar keadilan dan kesetaraan dapat tetap dijunjung tinggi di bangsa yang ramah ini.
Jika kemudian RUU PKS ini benar-benar dihapuskan dari prolegnas tahun ini, hemat penulis mungkin akan banyak sekali kecaman dari berbagai kalangan yang menyayangkan kinerja DPR, padahal ditengah pandemi Covid-19 ini kasus kekerasan seksual terus meningkat dengan berbagai jenis dan bentuk kekerasan.
Dan ini harus diberikan perhatian khusus karena kekerasan seksual akan sangat merugikan bangsa ini yang menjadikan menurunnya moral dari pelaku, dan gangguan psikis bagi korban. Yang kebanyakan dari pelaku dan korban disini adalah generasi muda yang kelak akan menjadi pewaris bangsa ini.
Masih menjadi pertanyaan besar bagi penulis, pembahasan bagian mana lagi yang terlalu sulit? Atau sebatas alibi yang enggan menggunakan literasi untuk membaca draft RUU yang menjadi hajat bersama untuk mencapai keadilan hakiki bagi perempuan di negeri ini. []
