Mubadalah.id – Ekstraktivisme apapun bentuknya dapat merusak sumber penghidupan rakyat dan lingkungan sekitar. Salah satu kelompok yang paling rentan terdampak dari kerusakan alam akibat ekstraktivisme adalah perempuan. Dalam berbagai laporan dan penelitian menunjukkan bahwa perempuan sering menanggung beban lebih berat akibat kerusakan alam.
Hal ini terlihat dari pengalaman perempuan adat di Papua. Melansir Kompas.id, masyarakat adat di tanah Papua sejak dulu menganggap tanah sebagai “mama” (ibu). Namun, karena hutan secara perlahan hilang akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan, tambang, dan kegiatan penebangan liar, mereka seakan kehilangan arah.
Mama Veronika Manimbu adalah salah satu contohnya. Dahulu, ia tidak perlu berjalan jauh untuk mencari bahan makanan, dengan satu jam berjalan kaki, ia sudah bisa membawa pulang berbagai bahan pangan. Buah-buahan dan tanaman obat juga bisa diperoleh dengan mudah dari hutan dekat rumahnya.
Namun, sejak salah satu perusahaan beroperasi di tempat tinggalnya di Distrik Kebar Timur, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, hutan di sekitar Mama Veronika lenyap digantikan perkebunan jagung. Ia dan perempuan-perempuan lain kehilangan sumber pangan dan penghidupan yang selama ini menopang kehidupan keluarga mereka.
Hal serupa juga dialami oleh perempuan-perempuan pesisir di Dusun Kurisa, Morowali, Sulawesi Tengah. Sebelum industri nikel masuk, desanya sangat sejahtera. Para perempuan bisa dengan mudah mencari beragam jenis ikan dan kerang.
Namun, saat ini sumber penghidupan mereka terganggu, hasil tangkapan menjadi sangat sedikit dan sulit didapatkan karena banyaknya kapal-kapal yang mengangkut batubara (captive).
Tidak hanya itu, setelah ada industri nikel mereka juga kesulitan mendapatkan Meti (Kerang sungai) yang berkualitas karena saat ini banyak Meti yang mengandung pasir di dalamnya.
Hal ini mempengaruhi ekonomi keluarga mereka, dulu sebagian besar bisa bertahan hidup bahkan bisa menyekolahkan anak-anaknya hanya dengan menjual Meti, namun saat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun semakin sulit.
Perempuan Kesulitan Mengakses Air Bersih
Selain menghilangkan sumber penghidupan, ekstraktivisme juga dapat merusak sumber air. Sekali lagi, kelompok yang paling terdampak adalah perempuan, karena ia yang banyak bertanggung jawab atas pekerjaan domestik seperti mengambil air.
Melansir dari Mongabay.co.id, di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, sebelum ada perusahaan batubara, perempuan bisa dengan mudah mengambil air bersih dari anak Sungai Malinau di dekat rumahnya.
Namun, setelah ada pertambangan air di sungai tersebut tercemar, akibatnya untuk memenuhi keperluan dapur, perempuan harus berkendara selama 10-20 menit menuju anak sungai. Itu pun mereka hanya bisa mengambil dua sampai tiga jerigen. Sehingga ketika keperluan air lebih banyak, mereka harus bolak-balik mengambil air.
For Your Information, Perusahaan Batubara memang memberikan akses air PDAM kepada warga sebagai “kompensasi.” Tapi sayangnya air baku yang diambil berasal dari sungai yang tercemar serta aliran air yang tidak selalu lancar. Akses PDAM ini pun sebenarnya kurang memadai, karena hanya tersedia di desa-desa hilir Sungai Malinau saja.
Sehingga mereka yang berada di bagian hulu sungai terpaksa harus membeli air dari anak sungai yang belum tercemar limbah. Mereka yang tak punya pilihan lain terpaksa menggunakan air yang tercemar untuk mandi. Meskipun badannya akan merasakan gatal-gatal satu sampai dua jam setelah mandi.
Tidak hanya di Kalimantan Utara, kondisi ini juga dialami oleh perempuan di Kelurahan Jawa, Sanga-sanga, Kutai Kartanegara. Akibat adanya pertambangan, sumur-sumur mereka menjadi tercemar.
Hal ini terjadi karena limbah tambang dialirkan melalui drainase yang melewati permukiman dan jarak pertambangan dekat dengan rumah warga.
Temuan Jatam
Bahkan dari hasil temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan bahwa sumur-sumur yang dimiliki warga memiliki kandungan asam melebihi standar baku mutu dan ada yang mongering. Air asam tambang membuat air sumur menjadi keruh, berbau dan “sedikit berasa.”
Selain itu, warga sekitar juga rentan terkena limpasan banjir dari buangan air tambang yang merusak perabotan rumah tangga. Banjir ini menambah beban perempuan, yang harus menyediakan waktu dan tenaga ekstra untuk membersihkan sisa lumpur di rumah.
Dengan demikian, beban reproduksi perempuan meningkat, tidak hanya soal pemenuhan kebutuhan air, tetapi juga keselamatan dan kenyamanan hidup mereka.
Perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci termasuk pihak yang terdampak langsung dari sumur yang tidak bisa ia gunakan. Meskipun perusahaan menyediakan akses air PDAM, warga tetap harus membayar sendiri. Beban perempuan buruh cuci pun bertambah karena harus membeli air tambahan.
Selain itu, air PDAM seringkali tidak layak mereka konsumsi. Sehingga perempuan yang lebih marjinal terpaksa menampung air hujan untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Keadilan Ekologis Mustahil Tanpa Suara Perempuan
Melihat dampak-dampak yang perempuan rasakan akibat alih fungsi lahan secara ugal-ugalan ini menyadarkan kita bahwa perusakan lingkungan sebetulnya tidak berdiri sendiri. Ekstraktivisme tumbuh dari sistem yang menempatkan alam dan tubuh perempuan sebagai objek eksploitasi.
Dalam sistem ini, suara perempuan jarang didengar, apalagi dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Padahal merekalah yang paling tahu bagaimana sumber-sumber kehidupan di sekitarnya. Mereka juga yang akan menanggung beban paling berat ketika sumber penghidupan tersebut rusak.
Karena itu, untuk mencapai keadilan ekologis pelibatan serta pengakuan perempuan dalam menghadapi krisis lingkungan menjadi sangat penting. Perempuan yang berdiri di garis depan mempertahankan hutan, air, dan tanah dari kerakusan industri ekstraktiv harusnya mendapat perlindungan dan dukungan, bukan ancaman apalagi pembungkaman.
Negara dan korporasi harus berhenti mengkriminalisasi perempuan yang memperjuangkan lingkungan hidupnya sendiri. Sebab hanya dengan ruang yang aman dan setara, perempuan dapat terus merawat bumi dengan pengetahuan, empati, dan kasih yang lahir dari pengalaman hidup mereka sendiri. []












































