Mubadalah.id – Jika merujuk dari perbincangan para ulama di sini jelaslah bahwa tugas menyusui adalah tugas para ibu (kaum perempuan), karena secara biologis merekalah yang dapat mengalirkan air susu sebagai minuman atau makanan bagi para bayi (anak).
Namun, apakah tugas ini semata-mata tugas kemanusiaan yang didorong oleh kesadaran regenerasi umat manusia atau kewajiban legal-normatif kodrati selaku orang yang melahirkannya, ternyata para ulama bersilang pendapat.
Dari kompilasi pendapat yang terlacak, ada benang merah yang bisa kita tarik atas perbedaan pandang ini. Kita bisa memahami bahwa meskipun dikatakan wajib syar’iy, tetapi kewajiban ini dalam kerangka moralitas kemanusiaan.
Demikian juga kita bisa memahami, meskipun dinyatakan sebagai tugas kemanusiaan, tetapi mempertimbangkan kebutuhan dlarûry bagi sang anak untuk mempertahankan kehidupannya, tugas moral ini bisa menjadi kewajiban legal bagi perempuan (bukan ibu kandung).
Tetapi di atas semua itu, adalah suatu kebajikan yang patut dilakukan oleh kaum perempuan untuk menyusui seorang anak. Dan adalah pemaksaan yang tidak manusiawi jika ibu kandung serta merta dikenai kewajiban legal menyusui anaknya, tanpa ada keseimbangan kewajiban pertanggungan dengan sang bapak.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa penyusuan tidak boleh menjadi sumber kesusahan bagi kedua orang tua. Asalkan suami istri mempunyai keinginan yang sama dengan cukup tersedianya perbekalan (jaminan) untuk si ibu dalam menyusui, mereka bisa memungut perempuan lain untuk menyusui anaknya.
Mempertegas konteks hukum di atas, di manakah posisi anak dan bapak kandung dalam tugas penyusuan ini? Seperti di atas, tidak ada makanan atau minuman yang tepat bagi seorang anak yang baru lahir selain air susu ibu.
Dengan begitu, kebutuhan air susu ibu betul-betul mempertaruhkan kehidupan sang anak. Maka, adalah menjadi hak (asasi) bagi seorang anak untuk memperoleh air susu ibu secara memadai. Posisi ini haruslah menyesuaikan dengan penempatan radhâ’ah pada konteks hak-hak anak dalam literatur fiqh.
Tugas Ayah
Sementara posisi bapak (suami) yang secara biologis tidak mungkin bisa menyusui adalah memberikan perlindungan kepada keduanya (ibu dan anak). Baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi. Sehingga penyusuan ini dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan anak.
Bapak (suami) secara ekonomi wajib memberikan nafkah baik kepada ibu (istrinya) maupun kepada anaknya. Kepada anaknya, bapak mempunyai lima kewajiban nafkah, yaitu pertama, upah susuan. Kedua, upah pemeliharaan.
Ketiga, nafkah kehidupan sehari-hari. Keempat, upah tempat pemeliharaan, dan kelima, upah pembantu jika membutuhkannya. Lima hal ini berlaku kepada siapa saja yang melakukan kerja menyusui dan memelihara anak. Termasuk kepada istrinya sendiri. []